Rabu, 15 Oktober 2008

BELANJA IKLAN XL UNGGULI TELKOMSEL

Data Nielsen Media Research Indonesia menyebutkan belanja iklan Telkomsel sampai Juni 2008 hanya Rp85 miliar. Ini berarti turun 21% jika dibandingkan dengan belanja iklan pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp108 miliar. Hal itu terungkap dari riset yang dilakukan Nielsen Media Research terhadap 93 koran, 149 majalah dan tabloid, serta 19 stasiun radio, tanpa memperhitungkan iklan baris dan diskon promo. Kenaikan belanja iklan di media terjadi pada PT Excelcomindo Pratama Tbk. (XL) yakni sebesar 209%, menjadi Rp139 miliar, pada semester I-2008, dibandingkan kurun waktu yang sama tahun lalu. (Source: Warta Ekonomi, 22 September 2008).

TAKARAN MENGGUNAKAN HUMOR DALAM IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Kalimat-kalimat ujaran seperti: “Lho kok loyo…?”, “Ooh tetangga kita batuk” atau “lontong…lontong, eeh … tolong, tolong…” yang hadir dalam iklan-iklan produk di layar TV, rasanya sudah tidak asing lagi telinga kita.

Diakui atau tidak, setelah kalimat tersebut kita dengar dan kemudian “dimanipulasi” oleh pikiran dan perasaan, ternyata memiliki sense of humour tersendiri dan dianggap punya daya tarik oleh pemirsa TV. Sebagai bukti, banyak anggota masyarakat “latah” meniru kalimat-kalimat tadi saat bercakap-cakap dengan temannya atau juga rekan sekerja. Kalimat-kalimat yang tersembul dalam iklan audio visual itu, ternyata, mampu membuat percakapan menjadi tambah akrab. Dan seringkali teman yang diajak bercakap, dengan sesekali diselingi kalimat humor iklan, tertawa terpingkal-pingkal.

Mentransformasikan humor ke dalam sebuah iklan, bukanlah ide yang tanpa tujuan. Seperti halnya banyak kiat yang sudah dipraktekkan, kiat menyisipkan unsur humor ke dalam iklan memiliki tujuan memberi daya tarik dari iklan itu sendiri. Akan halnya memasang iklan yang “humoris” di layar TV, tentu saja untuk memancing perhatian para pemirsa TV terhadap suatu produk yang ditawarkan.

Humor, untuk sebagian kalangan praktisi periklanan dipandang memiliki kekuatan mempersuasi calon konsumen. Selain mengandalkan kelucuan naskah iklannya, tidak jarang para penggarap iklan memakai seorang pelawak sebagai model iklan. Mereka mempunyai rumusan bahwa dialog yang dibawakan serta logat sang pelawak akan melahirkan banyolan-banyolan segar yang merangsang perhatian pemirsa. Atau paling tidak, pemirsa akan geli melihat wajah sang pelawak yang mendekati baby face.

Lihat saja satu iklan Mixagrip yang mengetengahkan kepiawaian Djodjon Cs. Dalam hal mengocok perut. Atau Ajinomoto yang menggunakan pelawak (alm) S. Bagio, lantas iklan Salonpas yang tak ketinggalan menghadirkan pelawak Asmuni, juga Darto Helem yang hadir dalam iklan Vick’s Formula 44, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Menggunakan “jasa humor” pelawak atau membubuhkan kalimat-kalimat humoris dalam penampilan iklan, sekali lagi, tujuannya adalah untuk menggaet perhatian calon konsumen.

Timbul persoalan yang isinya mempertanyakan kembali, apakah panggunaan unsur humor di dalam pesan iklan akan mampu meningkatkan hasil dari aktivitas promosi suatu produk tertentu? Atau malah sebaliknya, humor bisa “mengaburkan“ misi pesan iklan, dimana terjadi bias perhatian pemirsa yang menjadi target-marketnya. Dengan lain perkataan, pemirsa menyaksikan iklan lantaran lebih tertarik dengan humornya, dan bukan karena alasan tertarik pada produk yang diiklankan.

Menonjolkan Unsur Humor

Para praktisi periklanan di Negara Amerika Serikat ternyata banyak yang tidak sepenuhnya percaya terhadap kekuatan humor di dalam iklan. Mereka beraggapan, humor bisa saja menghibur, tetapi tidak selalu membantu penjualan barang atau jasa. Boleh jadi, tampilan iklan di Negara Paman Sam menjadi tidak didominasi unsur-unsur humor. Biro iklan disana lebih senang memilih sejumlah nama aktris atau aktor dan juga penyanyi top sebagai model iklannya.

Perusahaan minuman Pepsi, misalnya, di tahun 1984 memilih Michael Jackson sebagai model iklannya dengan bayaran US$ 4,5 juta. Kemudian di tahun 1989, Pepsi menandatangani kontrak iklannya dengan penyanyi top Madonna. Saat itu Madonna memperoleh US$ 5 juta untuk tampil dalam film iklan Pepsi yang durasinya hanya 2 menit. Ini sekedar contoh untuk menggambarkan, betapa iklan harus ditebus dengan biaya yang tidak murah agar penampilannya bisa memancing perhatian calon konsumen.

Namun di dalam bisnis periklanan, bukan hanya cost yang mahal. Ide-ide untuk tampilan iklan pun dihargai sangat mahal, karena ia harus muncul dari daya imajinasi dan proses kreativitas yang tinggi. Tidak hanya itu, ide iklan yang baik hanya bisa dihasilkan dari kadar intelektual yang memadai, naluri yang tajam serta pengalaman yang cukup dari para pencipta iklan. Salah satu ide beriklan itu adalah dengan menggunakan unsur humor dalam meramu pesan iklan.

Keyakinan banyak praktisi periklanan di Amerika Serikat --yang tidak sepenuhnya percaya akan kekuatan unsur humor di dalam iklan-- memang cukup beralasan bila kita memandang bahwa hal itu akan menimbulkan bias pada pesan iklan yang akan disampaikan. Tetapi, bisa juga keyakinan itu meleset manakala humor menjadi kiat yang jitu untuk mempertemukan produk tertentu dengan konsumen. Dari dua asumsi berbeda inilah kita berhak mencari pembuktian, mana yang benar dari keduanya.

Periklanan merupakan sebagian dari kegiatan ekonomi yang bersifat serius. Astrid S. Susanto (1989) menegaskan ini seraya mengatakan bahwa iklan diharapkan menjauhkan diri dari pendekatan naluri negatif manusia, maupun membawa lelucon-lelucon (terutama yang “kotor”).

Mencermati apa yang sudah dikemukakan Astrid, bukan lantas kita mengambil jalan pintas dengan menghilangkan unsur humor dalam pesan-pesan iklan. Lebih dari itu, hendaknya pikiran kita mau digiring untuk lebih memahami apa sebenarnya fungsi dan tujuan iklan. Selain itu, sebagai bahan masukan yang berharga, iklan harus terlepas dari ujaran-ujaran “kotor” yang terkesan punya selera rendah (low taste) atau murahan.

Fungsi iklan adalah untuk mempertemukan konsumen dengan sesuatu produk. Dan tujuannya tentu saja bukan untuk menghibur, tetapi untuk memberi informasi kepada khalayak mengenai hal ikhwal sebuah produk. Walau demikian , bukan berarti iklan tidak boleh menghibur. Segala lelucon atau dagelan sah-sah saja bila dijadikan “senjata” dalam usaha menggaet perhatian (to capture attention) calon konsumen. Dari pemahaman ini, maka humor harus diperlakukan sebagai “alat” dan bukan merupakan tujuan. Dengan demikian, unsur humor harus sinkron dan mampu menunjang tercapainya tujuan, yakni memberi informasi segala hal yang berkaitan dengan produk yang ditawarkan.

Namun terkadang unsur humor lebih ditonjolkan ketimbang informasi mengenai produk. Hampir dapat dipastikan, penonjolan unsur humor yang over dosis akan melahirkan dialog-dialog jenaka, ketimbang informasi keunggulan komparatif sebuah produk. Kondisi yang demikian, bila kita tinjau dari segi efektivitas tujuan pesan, adalah cukup “berbahaya”. Calon konsumen akan menjadi lebih akrab dengan lelucon iklan tersebut dan (mungkin) tidak ambil pusing untuk memikirkan manfaat produk yang diiklankan.

Padahal dari iklan tersebut diharapkan terjadi behavioral effect yang positif di kalangan masyarakat, yakni kegiatan untuk mengkonsumsi produk yang disodorkan. Tetapi, bagaimana mungkin mereka akan mengkonsumsi, bila mereka sendiri tidak tahu apa (gunanya) produk itu. Pada kasus ini, perhatian khalayak telah terpecah karena unsur humor lebih kuat dibandingkan unsur yang sifatnya lebih informatif mengenai produk.

Perlu Memperhatikan Takaran

Mungkin karena sifat alamiah manusia (human nature) selalu ingin merasakan senang, maka elemen efektifnya (sisi perasaan) lebih berperan. Tidak heran jika perhatian khalayak akan terpusat pada unsur humor, yang mampu membuat hatinya senang. Nah, dari kasus ini ada baiknya kita memikirkan bagaimana meramu unsur humor di dalam sebuah iklan dengan tidak mengaburkan unsur informatif dari produk yang ditawarkan. Artinya, kita perlu memperhatikan takaran menggunakan unsur humor di dalam pesan-pesan iklan.

Kenneth E. Andersen pernah menguraikan ihwal perhatian yang selektif (selective attention). Ia menilai bahwa perhatian selektif adalah proses yang aktif dan dinamis. Manusia cenderung memperhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol dan melibatkan dirinya. Selain itu, untuk mempertahankan perhatian, suatu perubahan atau variasi merupakan hal yang sangat penting. Dari sini kita bisa membuat takaran yang tepat.

Mengacu pada pendapat Andersen dan merapatkannya pada konteks pembahasan ini, maka unsur yang paling menonjol di dalam pesan iklan cenderung akan mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan unsur lain yang kurang ditonjolkan. Nah, bila unsur humor yang lebih dominan, maka isi humor berupa dialog yang mengundang “geerrr…” akan menjadi pusat perhatian.

Di sinilah pentingnya menempatkan unsur humor pada porsi yang sebenarnya. Ingat, humor hanya “alat” dan bukan tujuan beriklan. Sebaliknya, porsi unsur informatif produk harus lebih diperhatikan, baik dari segi kualitas maupun porsi penempatannya. Unsur humor memang harus lebih kecil porsinya dan tidak pelu tampil sepanjang durasi.

Namun bila pengiklan dan penggarap iklan menginginkan iklannya tampil full humour sepanjang durasi, maka satu hal yang mesti dilakukan adalah menciptakan humor yang tidak berdiri sendiri. Artinya, humor atau sisipan-sisipan jenaka lainnya tidak sebatas membuat orang terpingkal-pingkal. Tetapi lebih daripada itu, humor juga harus informatif, yakni berisi penjelasan atau kharakteristik suatu produk tertentu.

Akan halnya takaran tadi, sudah barang tentu tidak ada dalil yang baku atau formulasi yang tepat. Semuanya tergantung pada intuisi para pencipta iklan. Semua orang tahu, bahwa takaran yang baik selalu memberikan perimbangan yang baik pula. Namun yang agaknya penting untuk diberi garis tebal adalah perlunya menghindari unsur-unsur humor yang tidak ada relevansinya dengan produk yang diiklankan.

Jika takaran humor dipandang remeh, bukan mustahil akan muncul stimuli yang tidak terkondisikan (unconditioned stimuli), dimana khalayak tidak lagi dirangsang untuk mengkonsumsi produk, melainkan hanya dirangsang untuk tertawa. Bahkan (yang lebih fatal) khalayak menertawakan produk tersebut. Jelas ini tidak menguntungkan usaha promosi dari suatu produk tertentu. Akhirnya, membuat khalayak tertawa dengan memadukan unsur-unsur humor di dalam iklan boleh saja. Tetapi, jangan sampai khalayak menertawakan produk yang anda iklankan.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 31 Mei 1992

MENGOPTIMALKAN DAYA TARIK PADA MODEL IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Aktris Marissa Haque dipilih sebagai model untuk iklan Suzuki Forsa Esteem. Aktor film komedi Didi Petet tampil dalam iklan permen Nano-Nano, produksi Nimm’s. Zoraya Perucha turut menghiasi iklan kopi Nescafe. Iklan sabun cuci So-Klin mengetengahkan bintang gaek, Titik Puspa.

Koes hendratmo tidak mau ketinggalan. Senyum master of ceremony (MC) yang satu ini agaknya pernah komersil untuk iklan obat Stop Cold. Kalau ditanya, siapa pelawak yang acap menyebut “Cup…cup…cup…, Ajinomoto”, segera kita akan menjawab (alm) S. Bagio.

Bukan iklan-iklan produksi domestik saja yang tampil demikian. Kalau saja semua itu merupakan kiat beriklan, iklan-iklan mancanegara pun banyak yang menggunakannya. Lihat saja misalnya perusahaan jasa penerbangan Cathay Pacific yang beberapa waktu lalu mengontak petenis caliber dunia Michael Chang sebagai model dalam salah satu iklannya.

Terlepas dari masalah berapa besar kocek yang mesti dikeluarkan untuk menebus akting para model iklan, atau mengenai kasus gugatan model iklan yang dialamatkan kepada pengiklan karena sang model yang tidak tahu-menahu perihal pemuatan dirinya sebagai model (dengan lain perkataan, pengiklan telah melakukan invasion of privacy terhadap model), tulisan ini hendak mencoba menyoroti sejauh mana model berperan di dalam komunikasi periklanan. Selain itu akan dicoba untuk menelaah apakah model iklan memiliki pengaruh terhadap setiap keputusan yang akan diambil oleh calon konsumen.

Dua Alternatif

Pada prinsipnya, hanya terdapat dua alternatif yang bisa dipilih dalam menentukan model iklan. Pertama, memilih orang-orang yang sudah dikenal oleh masyarakat luas (semacam public figure). Sedangkan alternatif kedua, yakni menjatuhkan pilihan model iklan pada orang-orang yang unfamiliar bagi khalayak umum.

Untuk contoh iklan yang tidak mempraktekkan kiat serupa, mungkin kita bisa melihat pada salah satu iklan produk hair tonic merek Neril, Exadon atau iklan Gudang Garam Filter.

Iklan Neril memuat empat orang model (satu pria dan tiga orang wanita). Mereka yang tampaknya pemakai setia hair tonic itu berkomentar tentang daya kerja Neril yang efektif untuk mencegah rambut rontok. Namun kita tidak mengenal keempat model itu.

Kemudian model pada iklan obat sakit kepala Exadon yang berakting dengan kepala terbanting. Saya, dan hampir dapat dipastikan anda juga, tidak mengenal siapa dia. Seorang pria yang memamerkan nikmatnya menghisap sebatang rokok di dalam iklan Gudang Garam, pun nasibnya sama, tidak kita kenal, baik nama apalagi asal-usulnya.

Sebagai Komunikator

Tujuan pamungkas yang direkayasa dari proses komunikasi promosi melalui iklan adalah terciptanya respons positif calon konsumen di pasaran. Pesan iklan yang disalurkan diharapkan mampu menghasilkan tanggapan yang efektif (effective response). Artinya, secara akumulatif calon konsumen tergerak untuk mengkonsumsi produk yang ditawarkan.

Berorientasi pada tujuan komunikasi periklanan yang barusan kita singgung, maka memilih dan menempatkan model iklan merupakan salah satu tugas yang integral dengan fase-fase menyusun strategi beriklan, model iklan juga merupakan “sumber” (source) dari pesan-pesan yang akan dilancarkan. Pendeknya, langsung atau tidak langsung, tersamar atau transparan, model iklan bertindak pula sebagai komunikator.

Apabila kita mau mampir sebentar di terminal teori-teori komunikasi, kemudian membatasi pemikiran pada ihwal proses komunikasi itu sendiri, maka akan diperoleh formulasi-formulasi ideal. Dikatakan, peran komunikator sebagai komponen utama akan dipandang efektif bila di dalam proses komunikasi tersebut terdapat unsur kepercayaan kepada komunikator (source credibility) dari khalayak penerima pesan. Selain itu, sebagai unsur kedua, kemampuan komunikator menciptakan daya tarik (source attractiveness) juga memiliki peran strategis.

Baik kepercayaan maupun daya tarik, semuanya lebih ditentukan oleh posisi diri dan kepentingan para penerima pesan. Bila ingin mendapatkan informasi yang benar dan obyektif, maka kredibilitas komunikator dapat diukur dari back-ground, pendidikan misalnya, yang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan. Unsur daya tarik komunikator akan dijadikan pertimbangan oleh khalayak tatkala keinginan menyalurkan apa yang terkandung di dalam sisi emosionalnya mendominasi.

Agar sajian premis-premis yang bertolak dari dunia teoritis ini tidak mengaburkan pemahaman kita, ada baiknya dipaparkan sebuah ilustrasi yang nantinya mampu mendeskripsikan perbedaan mendasar antara unsur kredibilitas dan daya tarik komunikasi. Tentunya dalam konteks periklanan.

Begini. Tatkala diadakan seminar mengenai Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ), peserta seminar sangat mengharapkan hadirnya pembicara yang berkompeten di bidang media massa. Kredibilitas seorang penyair atau kritikus seni yang samasekali tidak mengetahui perkembangan teknologi komunikasi (atau boleh disebut pengetahuan minim di bidang itu, karena sehari-hari hanya berhubungan dengan dunia seni) adalah amat tidak diperlukan untuk membawakan makalah seputar SCJJ. Kalau saja seorang kritikus seni berkualifikasi seperti di atas dipaksakan berbicara, maka yang terjadi adalah lunturnya kepercayaan peserta seminar terhadap bahasan demi bahasan. Komunikasi di dalam forum seminar menjadi tidak didukung oleh kredibilitas di bidang seperti yang dimaksud.

Tetapi coba lirik salah satu iklan obat. Idealnya yang mengiklankan adalah kalangan kedokteran atau mereka yang bekerja di bidang farmasi, karena dengan begitu masyarakat akan percaya bahwa obat “anu” lebih ampuh untuk menghilangkan rasa sakit, pusing, atau demam misalnya. Nyatanya, artis, pelawak dan juga atlet adalah orang-orang yang banyak menjadi model iklan obat.

Memang benar sakit bisa menimpa siapa saja. Namun toh tidak setiap orang tahu banyak tentang seluk beluk penyakit. Jadi, mengapa bukan dokter, paramedis atau praktisi lainnya di bidang penyakit dan kesehatan yang dijadikan model iklan obat? Bukankah dalam obat-obatan mereka memiliki kredibilitas yang tidak diragukan lagi? Selain karena dilarang di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) tentang aturan main obat, agaknya kita telah menemukan kesimpulan yang bisa digeneralisasikan untuk semua jenis iklan, bukan hanya iklan obat.

Kesimpulan tersebut adalah, bahwa kredibilitas model iklan (dalam artian back ground yang setaraf dengan produk yang ditawarkan) tidak terlalu berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan oleh calon konsumen. Dengan begitu, maka mengiklankan sebuah mobil misalnya, tidak perlu bersusah payah mencari pembalap nasional untuk modelnya. Atau mengontrak Elton John (penyanyi yang selalu tampil eksentrik dihadapan penontonnya dengan sederet kacamata di wajahnya) tatkala ingin mengiklankan kacamata produk lokal. Sama sekali itu bukan hal yang urgensi untuk ditempuh.

Mengoptimalkan Daya Tarik

Menempelkan atlet, artis atau pelawak terkenal di dalam iklan, lebih disebabkan karena pertimbangan untuk mendongkrak daya tarik iklan. Dalam bukunya Advertising, John W. Crawford mengingatkan pentingnya mengajak khalayak menggunakan daya fantasinya di dalam mempersuasi mereka mengkonsumsi suatu produk.

Dengan gaya fantasi tersebut, mengutip McGuire (pakar media massa), maka akan mempermudah khalayak mengambil peranan pendorong ide (ego enhancing role), dimana khalayak akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh. Pendapat ini ternyata lebih mengekalkan kiat beriklan yang memilih orang-orang tenar sebagai modelnya. Artis, atlet bahkan pelawak sekalipun, termasuk di dalam barisan orang-orang yang memiliki probabilitas untuk dikagumi masyarakat luas.

Kalau memang begitu, maka ide untuk mengoptimalkan daya tarik yang dimiliki oleh masing-masing model mutlak harus tercuat ke permukaan. Data tarik suaranya, banyolannya, prestasinya atau raut wajahnya, merupakan titik potensial yang bisa digarap secara kreatif untuk tujuan mempersuasi calon konsumen. Hal ini sah saja karena merupakan teknik beriklan yang universal. Kreatif yang di maksud adalah dalam batasan yang tidak meloncati rule of the game yang ada.

Lantas bagaimana dengan iklan yang modelnya kurang dikenal di kalangan masyarakat luas? Sama saja. Ide-ide kreatif masih harus ditonjolkan. Model yang tidak “top” bukan berarti tidak potensial. Terkadang model yang unfamiliar bisa lebih efektif dipakai sebagai komunikator pesan iklan.

Asumsi yang dijadikan panutan adalah karena pada dasarnya manusia menginginkan sesuatu yang baru. Itu kebutuhan manusia yang sudah amat mengakar. Wajah-wajah baru jika dipakai sebagai model iklan, merupan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun sejauh itu, dalam hal memilih dan menentukan model iklan, terpulang pada tingkat pemahaman kita terhadap esensi tujuan di dalam komunikasi periklanan. Yang terpenting di dalam periklanan bukanlah menyodorkan model iklannya, tetapi produk serta image yang melekat pada produk itu sendiri.

Mengenai keputusan calon konsumen untuk tidak atau mau mengkonsumsi suatu produk, lebih ditentukan oleh frame of reference dan field of oxperience mereka terhadap produk yang ditawarkan, serta pengaruh psikologis daya tarik iklan yang dimenangkan lewat suatu kompetisi.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 25 Oktober 1992

KONSUMEN MENGGUGAT IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Kolom-kolom “surat pembaca” di banyak media cetak, belakangan ini gencar memuat reaksi masyarakat atau konsumen yang merasa keberatan terhadap tampilan iklan tertentu (secara tercetak maupun via media elektronik). Gelombang complaint yang dialirkan oleh masyarakat itu, bisa dijadikan sebuah indikator sederhana untuk menguji sebuah hipotesis: bahwa pada prakteknya tidak semua iklan bisa diterima atau berkenan di hati masyarakat.

Masyarakat sebagai audience media massa, memiliki semacam hak untuk mengajukan keberatannya terhadap tampilan sebuah iklan. Sebab selain sebagai audience, masyarakat adalah sasaran utama yang dituju (target market) dari sejumlah produk --berupa barang atau jasa-- yang ditawarkan melalui media massa. Untuk itulah mereka berhak memberi penilaian, yang merupakan proses selektivitasnya terhadap terpaan iklan.

Sebuah surat pembaca yang dimuat pada harian Pikiran Rakyat, malah berisi protes. Si pembuat surat menginginkan agar iklan sebuah pasta gigi --sebut saja mereknya “XYZ”-- tidak ditayangkan lagi di layar TV (swasta). Si penulis surat merasa tersinggung dengan materi iklan “XYZ”. Materi iklan itu berusaha memilah-milah status sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat, dan berusaha merendahkan status sosial-ekonomi sekelompok manusia. Ia juga memastikan, bukan hanya dirinya yang tersinggung, tetapi sebagian besar masyarakat yang sudah menyaksikannya.

Amat fantastis, namun sayang tidak menjurus pada sesuatu yang konstruktif. Begitulah kira-kira penilaian kita, kalau memang benar iklan “XYZ” menyinggung perasaan sebagian besar pemirsa TV. Mengapa disebut fantastis? Tidak lain karena film iklan yang ditayangkan dengan durasi singkat --sekian detik-- ternyata mampu merubah riak-riak kecil yang sebelumnya ada menjadi gelombang protes. Lantas tidak konstruktif, lantaran secara etis iklan yang demikian kurang dapat dipertanggung-jawabkan eksistensinya, dimana iklan tersebut telah menyinggung perasaan sekelompok masyarakat (yang berstatus sosial ekonomi kurang mapan).

Beragam Respon

Sekitar tiga dekade yang lalu, Otto Klepper pernah membuat sesuatu penekanan yang mengatakan, bahwa pengertian iklan pada tiap-tiap individu atau golongan di dalam masyarakat adalah berbeda-beda. Ia mengambil ilustrasi pada kehidupan keluarga di Amerika Serikat. Katanya, untuk ukuran seorang ibu rumah tangga. Iklan dipandang sebagai sebuah ‘alat’ yang diharapkan mampu memberikan informasi tentang dimana ia beserta anggota keluarga lainnya bisa menghabiskan week-end dengan suka cita.

Bagi sang ayah (suami), iklan diharapkan mampu menunjang aktivitas bisnis atau pekerjaannya di kantor. Sedangkan bagi anak-anak, iklan mengundang mereka untuk berfantasi tentang enaknya coklat dan nikmatnya kembang gula.

Dengan perumpamaan yang sederhana ini agaknya Klepper berhasrat menggarisbawahi, bahwa pada prinsipnya setiap orang --satu dengan lainnya-- berbeda dalam hal mempersepsi dan menginterprestasikan sebuah iklan.

Bila pada kenyataannya terdapat diferensiasi dalam hal menilai tampilan sebuah iklan, maka tidaklah mengherankan jika sejumlah respons yang muncul ke permukaan pun berbeda-beda. Pada kasus iklan “XYZ”, sudah pasti ada anggota masyarakat yang suka dan ada pula yang tidak suka. Ada yang merasa tersinggung dan mungkin malah ada yang merasa melambung hatinya. Fenomena hadirnya beragam respons ini merupakan konsekuensi yang wajar ketika masyarakat telah direkayasa untuk berjumpa dengan tampilan-tampilan iklan.

Heterogen dan Piramida

Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam masyarakat Indonesia yang punya kharakteristik heterogen ini terdapat pula perbedaan status sosial-ekonomi. Perbedaan ini alamiah, dan tak satu pun dari kita yang bisa menolaknya.

Secara kuantitatif, status atau tingkat sosial-ekonomi di dalam masyarakat dapat divisualisasikan dalam bentuk piramida tidak terbalik. Mereka yang berstatus sosial-ekonomi mapan atau serba kecukupan berada di bagian paling atas. Anggota masyarakat yang terbilang golongan menengah berada setingkat di bawahnya. Disusul dibagian terbawah, yakni mereka yang memiliki status sosial-ekonomi rendah. Mencermati isi ketiga bagian dari piramida tersebut secara think in pictures, maka akan tampak jelas bahwa ruang yang paling bawah --yang berisi masyarakat berstatus sosial-ekonomi rendah-- secara kuantitatif jumlahnya lebih besar dibandingkan kedua ruang yang berada di atasnya. Potret piramida yang demikian ini serupa dengan realita masyarakat Indonesia, dimana golongan berstatus sosial-ekonomi rendah jumlahnya amat besar.

Dari perbedaan status maka muncul perbedaan tingkat kebutuhan. Golongan masyarakat yang punya status sosial-ekonomi tinggi, mempunayi tingakat kebutuhan yang tinggi pula. Begitu pula dengan mereka yang dating dari golongan berstatus social-ekonomi menengah dan rendah. Nah, tiap-tiap individu dengan aneka ragam status tadi, mmemiliki otoritas untuk memilah-milah atau mengadakan seleksi, mana kebutuhan yang primer dan mana yang sekunder menurutnya.

Sebuah mobil sedan mewah produk terbaru, mungkin dianggap sebagai kebutuhan primer yang “wajib” dikonsumsi oleh para bankir atau eksekutif muda yang sedang menanjak kariernya. Status sosial-ekonomi mereka memang menuntut begitu.

Berbeda dengan anggota masyarakat yang tergolong kelas “papan bawah”. Bagi mereka, sedan mewah boleh jadi hanya sebuah impian yang mengawang-awang di siang bolong. Kebutuhan primer bagi golongan berstatus sosial-ekonomi rendah bukanlah sebuah sedan mewah (atau yang tak mewah sekalipun), tetapi makan sehari-hari, membeli pakaian anaknya, atau bahkan memikirkan bagaimana membayar cicilan rumah tipe sangat sederhana yang dimilikinya. Sangat kontras memang, tetapi itulah realita sosial yang mesti diamini.

Pesan Iklan

Setelah berpanjang-panjang dengan penjabaran mengenai potret realita sosial masyarakat (Indonesia), ada baiknya dalam memahami gugatan masyarakat terhadap tampilan iklan kita juga beranjak dari realita yang sebenarnya, seperti telah diuraikan tadi.

Salah satu kiat penyampaian iklan yang kini kerap dipakai oleh banyak perusahaan dan biro periklanan adalah teknik dengan “iming-iming” untuk meningkatkan status sosial konsumennya. Bila seseorang memakai sabun merek “A”, misalnya, status sosialnya akan sejajar dengan sederetan nama bintang film popular. Jika seorang pria mengenakan kemeja merek “B”, misalnya, --alhasil tampilannya akan terlihat trendy-- dan akan dilegitimasi mampu meningkatkan citra dirinya. Masih banyak contoh lainnya.

Kiat yang menyertakan “iming-iming” ini tidak selamanya akan dinilai buruk, jika ternyata kualitas dari produk yang semula diiklankan terbukti sanggup memuaskan hati konsumen. Namun sebaliknya, teknik tersebut tidak akan pernah menjadi senjata yang ampuh untuk “memperlaris” produk, bila pesan iklan tersaji dari hasil manipulasi yang menipu, tanpa memperhatikan nilai-nilai etis, misalnya sampai menyinggung perasaan sebagian konsumen. Sungguh ini adalah sesuatu yang di luar pagar-pagar etis.

Konsumen Menggugat

Bila sebuah pesan iklan mampu membuat sekelompok atau sebagian naggota masyarakat tersinggung dan mereka merasa dirugikan, maka gugatan pun mengalir. Dan lazimnya, segala bentuk gugatan, rasa keberatan, atau apapun namanya, selalu dialamatkan ke media massa(terutama cetak) dalam wujud “Surat Pembaca”. Ini adalah hubungan sebab akibat yang logis.

Pesan iklan sebagai faktor kuat yang mempengaruhi “komunikasi promosi”, seharusnnya dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan dampaknya bagi khalayak.

Pada tahap pentransformasian ide-ide kreatif menjadi sosok iklan yang sesungguhnya, satu hal yang penting dijadikan dasar pemikiran bagi para creative disigner iklan adalah pentingnya memandang potret realita sosial secara utuh, tidak setengah-setengah.

Dari adanya tampilan iklan, seperti halnya contoh iklan “XYZ” tadi, perlu kiranya diberi garis tebal disini, bahwa kecemburuan social tampaknya memang tak perlu ditiupkan lagi. Iklan-iklan yang dengan sengaja masih berpenampilan demikian., lambat laun tentu akan ditinggalkan oleh konsumen, yang sebelumnya menggugat iklan tersebut. Kalau sudah begitu, lantas siapa yang merugi…?

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 26 April 1992

BAHASA INDONESIA DALAM IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Penggunaan Bahasa Indonesia (BI) yang baik dan benar, di bulan Oktober selalu menjadi tema sentral yang banyak memperoleh sorotan. Wajar saja, karena bulan Oktober telah dicanangkan sebagai “Bulan Bahasa”. Bulan yang mungkin penuh sesak dengan imbauan agar masyarakat dan bangsa ini bergiat diri menggunakan bahasa nasionalnya --sekali lagi-- secara baik dan benar.

Dalam proses komunikasi dikenal adanya hambatan yang disebabkan karena “gagap bahasa” atau hambatan semantik (semantic noise factor), yakni hambatan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan komunikator dalam mengungkapkan dan menggunakan suatu bahasa. Hambatan ini seringkali menjadikan strategi komunikasi majal alias tumpul. Akibatnya tentu sangat fatal, dimana pesan yang akan disalurkan tidak bisa diterima dengan baik oleh komunikan (penerima pesan).

Konsekuensi yang kurang menguntungkan ini berlaku universal bagi semua bentuk dan jenis komunikasi, tidak terkecuali pada komunikasi periklanan.

Masyarakat periklanan di Indonesia, sebagai komunitas pelaku bisnis yang memiliki daya kreativitas dalam menciptakan ragam bentuk iklan --secara langsung maupun tidak langsung-- juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam usaha pembinaan dan pengembangan BI.

Seperti tertulis di dalam Pasal 36 UUD 1945 yakni: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”, maka cukup jelas bahwa setiap warga negara mengemban tugas tersebut. Kalau memang begitu, masyarakat periklanan pun (seyogyanya) harus terlibat aktif dalam misi ini. Sederhananya, kreativitas dari para kreatif periklanan --mau tidak mau-- harus menjunjung tinggi BI dengan cara: tidak mengacaukannya!.

Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai karya iklan yang tidak mengindahkan aturan atau tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan (apalagi) benar. Yang menjadi masalah sekarang, penggunaan kosa kata dari kandungan BI yang telah dibakukan --jika dicomot untuk naskah iklan-- malah dianggap menjadikan iklan berpenampilan ‘kaku’. Dengan begitu, sulit bagi iklan tersebut untuk bisa berakrab-ria dengan masyarakat.

Pola pikir yang demikian ini --BI baku menjadikan iklan tampil ‘kaku’-- banyak diyakini oleh para penggarap iklan (para creative director atau copywriter). Maklum saja, posisi sebagai creative director atau copywriter masih banyak diduduki oleh kaum ekspatriat alias pekerja asing yang mencari nafkah di negeri ini. Tentunya, mereka tidak mau strategi iklannya gagal, hanya lantaran tidak mengerti menyusun naskah iklan dengan BI. Kenyataan ini bertambah parah, karena di dalam masyarakat berlaku semacam “kesepakatan”, bahwa menggunakan bahasa asing dapat meningkatkan gengsi mereka.

Bahasa Punya Peranan Vital

Bahasa adalah alat komunikasi paling primer. Banyak orang mempelajari bahasa dengan alasan agar mereka bisa lebih mudah memperoleh, mengolah, dan memahami informasi. Atau untuk menghalangi terjadinya semantic noise factor tatkala orang tersebut harus terlibat dalam proses komunikasi face to face. Bahkan tidak berlebihan bila disebut, tanpa mampu berkomunikasi dengan lingkungannya, seseorang (mungkin) tidak dapat hidup berlama-lama di dunia ini.

Boleh percaya, tidak pun boleh. Pada sekitar abad 13, kaisar kerajaan Romawi, Raja Frederick II pernah mengadakan eksperimen yang ‘gila-gilaan’. Ia memilih beberapa orang bayi dan merawatnya dalam suatu tempat khusus. Bayi-bayi itu dimandikan, disusui, dan dirawat secara teratur. Tetapi tidak seorang pun diperbolehkan berbicara atau menyenandungkan kidung-kidung penghantar tidur buat bayi-bayi itu.

Selang beberapa kemudian apa yang terjadi? Ternyata semua bayi yang menjadi ‘kelinci percobaan’ itu meninggal secara misterius. Eksperimen itu tidak pernah dilakukan untuk kedua kalinya (Rakhmat, 1986).

Walau cukup mendebarkan, mudah-mudahan ilustrasi di atas bisa menyeragamkan pola pikir kita, bahwa peranan bahasa --yang berfungsi sebagai alat komunikasi-- teramat vital dalam kehidupan manusia.

Baku, Kaku, dan Tak laku

Secara fungsional bahasa bisa ditranslasikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared means for expressing ideas). Dalam konteks ini, bahasa hanya bisa dipahami bila terdapat kesepakatan di antara anggota kelompok sosial yang menggunakannya.

Peter Farb dalam “Values and Voices: A College Reader” (1981) bahkan menambahkan: bahasa bukan sekadar berfungsi sebagai alat menyampaikan gagasan, tetapi dapat mempertajam gagasan itu sendiri. Bila ini kita cermati, bahasa ternyata bukan sekadar simbol atau lambang bunyi, tetapi juga alat yang tepat dipakai untuk mencapai suatu tujuan.

Sedangkan secara formal, bahasa merupakan semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut aturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated according to the rules of grammar). Disini tata bahasa (yang menurut A. Miller terdiri dari fonologi, sintaksis, dan semantik) penting untuk dihadirkan, menurut aturannya. Tidak bisa tidak.

Mencermati penggunaan bahasa di dalam naskah iklan, maka yang tampak mendapat penekanan adalah fungsi bahasa itu sendiri. Jadi bukan susunan tata bahasa ynag diperhitungkan. Yang terpenting adalah, bagaimana caranya membuat naskah iklan yang mudah dimengerti dan terdengar “akrab” dengan telinga masyarakat.

PT National Motors Co., pemroduksi kendaraan Mazda jenis MR-90 di Indonesia, hadir dengan iklan berjudul “Mesinnya OK Banget”. Kata “OK” dan “banget”, membuat kita pusing ketika harus mencarinya di dalam kamus besar BI. Kalau mau menggunakan BI yang baik dan benar, kata “OK” dan “Banget” seharusnya bisa diganti menjadi “…Tangguh Sekali” atau kalimat lainnya yang mencerminkan tema kekuatan. Mengapa justru kalimat pertama yang dipakai? Jawabnya, tentu saja karena kata “OK Banget” lebih akrab di telinga masyarakat dan bisa menjadikannya lebih komunikatif.

Apa yang sedang digandrungi oleh masyarakat atau “ngetrend” adalah sangat potensial untuk dieksploitir, bahkan kalau perlu dimanipulasi. Karena iklan berhadapan langsung dengan masyarakat, maka sajian iklan harus “diasimilasikan” atau diupayakan agar sinkron dengan tendensi baru serta bentuk-bentuk perubahan --baik karena faktor eksternal maupun internal-- yang terjadi di dalam masyarakat. Ini harus dilakoni jika iklan ingin digubris massa.

Tampaknya para penggarap iklan telah menangkap sinyal, bahwa ungkapan-ungkapan, kata-kata, atau kalimat-kalimat yang sering dipakai dalam konversasi antar individu layak dipakai sebagai bagian naskah iklan. Lihat saja iklan di majalah-majalah kaum remaja yang hadir dengan naskah bergaya remaja. Banyak diantaranya yang menggunakan bahasa “prokem”, seperti kata “doi” (= kekasih/pacar) untuk mengiklankan produk wewangian, atau “spokat” (= sepatu) untuk mengiklankan sepatu yang sedang “nge-trend”.

Kemudian tengok cara produsen BMW memasarkan “BMW Card” (tentu untuk para pemilik sedan BMW). Biro iklan Matari, yang menggarap iklan ini, membuat judul iklan begini: “The key to Your Exclusive Benefits”. Terlintas dalam benak kita, mengapa menggunakan bahasa Inggris? Padahal, uang ditawarkan “BMW Card” adalah orang Indonesia. Tak lain dan tak bukan, jawabannya karena bahasa Inggris (dianggap) mampu memberikan prestise atau gengsi tersendiri di kalangan kaum “the haves”. Dan sudah pasti, segala bentuk prestise agaknya “komunikatif” untuk mengakrabkan kalangan berkocek tebal dengan suatu produk.

Sampai sekarang memang belum ada aturan yang memikat secara tegas tentang keharusan menggunakan BI di dalam tampilan iklan. Isi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) pun hanya menyerukan, agar iklan menggunakan bahasa yang baik dan istilah-istilah yang tepat. Tidak dijelaskan, bahasa apa yang harus dipakai dalam beriklan.

Kenyataan lainnya, tidak sedikit naskah iklan menggunakan bahasa asing dicampur dengan BI. Alhasil inilah embrio yang menjadikan wajah iklan kita nyaris mirip “gado-gado” alias campur aduk, atau yang oleh sebagian praktisi periklanan Indonesia disebut bersifat “banci”.

Kesimpulan yang ada mengatakan, bahwa bahasa iklan memang teramat plastis. Artinya, ia bisa berubah-ubah tergantung kepentingan apa yang menempel pada produk, juga untuk siapa produk tersebut ditujukan. Tetapi ini bukanlah alasan yang tidak bisa disangkal, dimana para pencipta iklan sama sekali tidak mengindahkan keberadaan BI.

Terakhir, bila kita mengingat sebuah ungkapan bahwa “Bahasa menunjukan bangsa”, agaknya kita tidak patut berbangga hati menatap iklan-iklan garapan biro iklan negeri sendiri, yang ‘nyombong’ menempelkan bahasa asing dalam naskah iklannya sementara produk itu dipasarkan disini. Konsekuensinya, wajah periklanan kita --terutama pada aspek penggarapan naskah iklan-- secara akumulatif akan kehilangan identitasnya. Sebuah tugas yang masih harus diselesaikan adalah, bagaimana membuat naskah iklan dengan Bahasa Indonesia (yang baik dan benar) tanpa merusak image atau prestise dari produk yang ditawarkan. Tugas lainnya, bagaimana menepis asumsi yang mengatakan, bahwa menggunakan Bahasa Indonesia menjadikan iklan tampil ‘kaku’ dan menjadikan produk tak laku. Selamat berbulan bahasa.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 18 Oktober 1992

ANTAGONISME IKLAN DAN PELECEHAN BUDAYA

Oleh Deddy H. Pakpahan

Antropolog Edward Burnett Taylor pernah mengemukakan sebuah definisi mengenai kebudayaan. Dalam perspektif antropolog ini, kebudayaan dijabarkannya sebagai “…keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat dan setiap kemampuan serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Kebudayaan (culture) memiliki tiga wujud, yakni (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia di dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Di Indonesia kita mengenal tiga pengkategorian kebudayaan, yakni Kebudayaan Nasional Indonesia (KNI), kebudayaan daerah dan kebudayaan pop. Sesuai dengan namanya, ruang lingkup KNI berskala nasional dan cenderung lebih bersifat politis. Mengapa? Karena tujuan melestarikan dan mengembangkan KNI tidak lain adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia, Pancasila atau UUD 1945 merupakan contoh konkret KNI.

Lantas kebudayaan daerah. Kebudayaan yang kerap dilegitimasi sebagai “kebudayaan adiluhung” (high culture) ini adalah kebudayaan yang mewakili suatu daerah tertentu dan berlaku lokal. Karena kebudayaan daerah selalu menonjolkan kekhasan atau keunikan unsur budaya daerah yang mewakilinya, maka kebudayaan memiliki sifat sosial budaya kedaerahan. Contoh kebudayaan daerah, misalnya bahasa Jawa, Batak, Bali, Manado, dll. Atau musik-musik tradisional yang integral dalam kesenian-kesenian daerah / tradisional, serta banyak lagi contoh lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan pop (bermula dari kata “populer”) adalah kebudayaan yang memiliki sifat komersial-konsumtif. Gaya hidup yang mudah terbius oleh produk-produk baru nan mutakhir, adalah salah satu contoh transparan dari kebudayaan pop.

Dalam kajian bagian ini, perlu kiranya mengambil relevansi mengenai batasan kebudayaan pop yang diberikan S.M. Dharmanto sebagai berikut: “kebudayaan pop adalah subkultur kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada komersialisasi suatu produk budaya, biasanya berupa sejenis barang konsumtif yang diproduksi secara massa dengan perangkat produksi modern, dan berupa menggaet konsumen sebanyak-banyaknya”. (dalam buku Masalah Pengembangan Kebudayaan Nasional, 1990: h.60-70).

“The Culture of Advertising”

Bersandar pada ragam definisi mengenai kebudayaan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri bahwa periklanan dan segala aspek yang menyelimutinya adalah juga salah satu wujud kebudayaan. Bahkan jauh-jauh hari sebelum periklanan dibicarakan banyak orang, Nuradi yang dikenal sebagai “Bapak” periklanan Indonesia modern sudah mengapungkan istilah “The Culture of Advertising” atau “kebudayaan iklan”. Dalam sebuah tulisannya, Nuradi memandang bahwa kebudayaan iklan merupakan suatu gejala yang timbul karena kemajuan ekonomi masyarakat (majalah Prisma, Juni 1977).

Dalam periklanan kita mengenal beberapa jenis iklan. Astrid S. Susanto (1989) mengelompokkannya menjadi dua, yakni iklan yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu lembaga (corporate advertising) dan iklan yang memperkenalkan suatu produk, baik berupa barang atau jasa (generic advertising). Dari pemahaman kita mengenai diferensiasi keduanya, maka jelas bahwa iklan yang bertujuan memperkenalkan suatu produk (tentu agar diketahui masyarakat dan setelah itu masyarakat diharapkan mau mengkonsumsinya) “menginduk” pada kebudayaan pop. Sebabnya, iklan-iklan produk digarap dan setelah itu disebarkan dengan tujuan yang sifatnya komersial dan berorientasi pada kalkulasi bisnis.

Menilik perkembangan iklan-iklan produk, dengan melihat tampilan-tampilannya di media massa (cetak maupun elektronik), tampak bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah sudah “dilirik” oleh pihak pengiklan. Namun bukan berarti unsur-unsur kebudayaan pop tidak terwakili di dalam tampilan-tampilan iklan produk. Jelasnya, unsur-unsur kebudayaan daerah sudah mulai dijadikan materi atau bahan meramu sebuah iklan produk.

Khusus menunjuk pada iklan-iklan produk, upaya mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaaan daerah yang merupakan kebudayaan adiluhung, lebih terkesan sebagai usaha eksploitasi --yang jika tidak dilandasi kesadaran menjunjung nilai-nilai kebudayaan daerah-- pada akhirnya bisa dianggap sebagai usaha melecehkan!.

Antagonisme Iklan

Tidak sedikit kita menjumpai tampilan beragam iklan produk yang menyertakan unsur-unsur kebudayaan daerah di dalamnya. Lihat saja misalnya, iklan Supertin di layar TV (swasta) yang materi iklannya berisi dialog dua tokoh punakawan dalam dunia wayang golek. Si cepot bilang, Raden Gatotkaca “loyo”. Makanya ia dianjurkan minum Supertin sebelum bertemu Purgiwa, kekasihnya. Dialog ini jelas keluar dari pakem pewayangan, dimana Gatotkaca adalah tokoh yang identik dengan heroisme.

Tidak sebatas itu, ada pula merek produk yang mendompleng ketenaran suku Asmat. Untuk mempromosikan produk kosmetik terbarunya, Sari Ayu menampilkan iklan tercetak dengan judul “Riwayat Asmat”. Judul ini dipilih mengingat produk-produk anyar yang ditawarkan memang “berbau” Asmat, yakni Asmat Brazza dan Asmat Agats.

Koleksi terbaru Sari Ayu yang untuk mempercantik bulu mata, pipi, bibir, dan memperlentik kuku jemari kaum wanita ini hadir dengan aneka warna pilihan. Ada coklat, hitam, merah, biru, hijau, ungu, dll. Persoalannya sekarang adalah, mengapa iklan itu harus diberi judul “Riwayat Asmat”?.

Bila kita menelusuri budaya Asmat dari beberapa referensi, misalnya dalam buku Asmat: Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya (1984) karya Dea Sudarman, orang atau lebih tepat disebut penduduk suku Asmat hanya mengenal tiga warna dalam kehidupannya sehari-hari, yakni warna merah, putih, dan hitam. Bisa jadi, orang Asmat yang sering menyebut diri mereka sebagai “Asmat-ow” (manusia sejati) atau “As-Asmat” (manusia pohon) merasa aneh dengan variasi warna dalam iklan kosmetik tersebut, meskipun di belakang sang model iklan berdiri lima pria berpakaian adat suku Asmat. Disinilah mulai muncul antagonisme iklan, yaitu sebuah pertentangan antara hal yang faktual dengan hal yang komersial sifatnya.

Itulah fakta yang sesungguhnya terjadi dalam praktek periklanan kita, dimana unsur-unsur kebudayaan adiluhung sudah dipandang bernilai potensial untuk digarap menjadi materi iklan-iklan produk. Karena iklan produk bersifat komersial, sedangkan kebudayaan daerah memiliki nilai-nilai luhur yang seyogyanya terbebas dari pemikiran business oriented, maka keterlibatan unsur-unsur kebudayaan daerah di dalam penggarapan iklan produk telah memunculkan antagonisme.

Di satu sisi, pengiklan dan para kreatif periklanan bermaksud menjual produk dengan daya tarik unsur-unsur kebudayaan daerah. Tetapi disisi lain, kebudayaan daerah dengan sejumlah komunitas manusia pendukungnya mengharapkan eksistensi nilai-nilai luhur dalam kebudayaan tersebut bersih dari “polusi” dan distorsi nilai. Dalam hal ini, materi iklan produk yang mengeksploitisir unsur-unsur kebudayaan daerah telah melahirkan pertentangan antara dua kepentingan, yakni komersial dan moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai luhur dari setiap unsur kebudayaan daerah.

Sampai rentang waktu sekarang ini, persoalan mengeksploitisir nilai-nilai kebudayaan di dalam tampilan iklan-iklan produk (terutama yang punya indikasi melecehkan), dampak negatifnya memang belum menyengat. Tetapi jika dibiarkan terus berlanjut, wajah kita sebagai sebuah bangsa dimasa mendatang diramalkan akan menjadi muram. Mengapa bisa begitu? Karena ragam budaya daerah yang semula ingin dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan, akan mengalami pergeseran nilai sekaligus sifatnya yang menjadi komersial.

Pelecehan Budaya

Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi, “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”, merupakan cermin bahwa pemerintah memberi jaminan penuh terhadap usaha pengembangan kebudayaan ditanah air. Yang menjadi pertanyaan, apakah itu semata hanya tugas pemerintah? Tentu saja tidak. Dalam konteks ini, masyarakat periklanan pun dituntut untuk menjaga keutuhan dan kemurnian nilai-nilai kebudayaan daerah. Ini pula yang bisa dibaca sebagai sinyal bahwa masyarakat periklanan juga memiliki tanggung jawab sosial.

Dari pemahaman di atas, jika sebuah iklan digarap sebatas sebagai kiat vital dalam usaha mengeruk keuntungan, sebaiknya tampilan iklan tidak perlu “mencari muka” dengan menyisipkan unsur-unsur kebudayaan daerah sambil bertameng ikut melestarikan budaya bangsa. Sekali lagi, jangan “mencari muka”!.

Pihak produsen maupun kalangan yang terlibat langsung dalam pembuatan iklan pasti ada yang berteriak dengan nada apologisnya, bahwa tindakan mereka --menyatukan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan daerah dalam iklan komersial-- adalah karena tuntutan kreatifitas. Para kreatif di bidang periklanan yang lebih senang disebut “seniman” jelas tidak mau kreatifitasnya terbungkam.

Tentang tuntutan kreatifitas, tidak satu pun yang mau terbungkam atau dibungkam. Tetapi alangkah baiknya jika kreatifitas yang meluap-luap itu (hasilnya) relevan dengan produk yang akan ditawarkan. Seperti iklan perusahaan jasa penerbangan Singapore Airlines, yang salah satu iklannya menampilkan Tari Kecak, sebuah tarian dari Bali. Walau iklan ini punya tujuan bisnis, yakni menjual jasa angkutan, namun tidak bisa kita menunjuk bahwa iklan Singapore Airlines merusak nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat Bali. Dan lagi, maskapai penerbangan asing itu memang melayani jalur penerbangan dari dan ke Denpasar, Bali. Disini jasa yang ditawarkan relevan dengan materi iklan.

Coba bandingkan dengan iklan Sari Ayu. Apakah gambar motif burung pada wajah kelima pria berpakaian adat suku Asmat, dipoles dengan kosmetik produk Sari Ayu? Kalau benar begitu, “kemayu” sekali mereka.

Perlu dipahami, menyertakan berbagai unsur kebudayaan daerah di dalam iklan-iklan produk untuk kepentingan komersial semata --tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang melekat di dalamnya atau mengesampingkan usaha komunitas masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut-- sama saja dengan melecehkannya.

Dampak negatifnya sudah dikemukakan di atas. Satu hal yang amat diharapkan untuk mengantisipasinya adalah, dengan mempertebal kesadaran dari para produsen serta para kreatif periklanan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional atau budaya masing-masing suku bangsa. Mereka harus bisa memilah-milah, antara kepentingan komersial dan kepentingan moral serta tanggung jawab sosial terhadap eksistensi budaya bangsa. Akhirnya, kreatifitas penggarapan iklan-iklan produk memang tidak harus memberangus nilai-nilai adiluhung kebudayaan daerah atau bahkan melecehkannya. Sebab, kebudayan daerah juga merupakan kebudayaan nasional yang harus dijunjung oleh setiap orang, tanpa terkecuali!.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 13 Desember 1992

PLASTISITAS POLA KONSUMSI REMAJA DAN IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Remaja, mungkin adalah kelompok umur yang paling diincar oleh para pengiklan dalam mempromosikan suatu produk. Alasannya sederhana saja, karena kelompok umur ini dari kacamata psikologis dipandang sebagai individu-individu yang masih rentan, mudah dipengaruhi dan dibujuk. Kerentanan remaja --umumnya terelihat dari labilnya perilaku-- juga terekspresikan dalam pola konsumsi. Hal ini merupakan Weakness atau kelemahan yang kerap dimanfaatkan para pengiklan sebagai “pintu masuk” yang paling tepat.

Sebagai bagian dari usaha promosi yang menunjang pemasaran, penentuan sasaran pasar (target market) sebuah iklan dengan memperhatikan kelompok umur adalah kiat yang jamak dilakukan. Memperhatikan di sini bukan sebatas melihat kebutuhannya saja, melainkan juga perilaku kelompok-kelompok sasaran. Edward W. Cundiff, Richard R. Still dan Norman A.P Govoni dalam buku mereka “Fundamentals of Modern Marketing” mengatakan: memperhatikan perilaku pembeli (buyer behaviour) adalah mutlak diperlukan dalam konsep pemasaran. Sukses atau gagalnya proses pemasaran amat tergantung pada reaksi individu atau kelompok tertentu yang tercermin di dalam pola konsumsinya (h.128).

Plastisitas Pola Konsumsi

Bagaimana sebenarnya pola konsumsi remaja itu? Disini pola konsumsi bisa didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Dan yang dimaksud dengan remaja, agar tidak terlalu meluas, kita batasi saja yakni kelompok umur antara 15-21 tahun (menurut L.C.T Bigot, Ph. Kohnstam dan B.G. Palland. Ketiganya pakar psikologi dari Belanda). Rentangan usia tersebut sebenarnya dibagi lagi, yakni remaja awal dan remaja akhir. Tetapi dalam kaitan ini kita tidak perlu memperdebatkannya sampai titik terdetail.

Kaum remaja pada umumya memiliki pola konsumsi yang plastis. Artinya, mereka tidak selalu terikat pada suatu produk tertentu dengan merek tertentu pula. Agak sedikit mirip dengan pola konsumsi kelompok umur lainnya. Plastisitas pola konsumsi remaja lebih banyak dipengaruhi oleh trend yang disepakati kelompok teman sebayanya. Elizabeth B. Hurlock pernah menyebut adanya lima kelompok dalam masa remaja, yakni: kelompok Chums, cliques, crowds, kelompok yang diorganisir dan gangs. Dari interaksi di dalam kelompok-kelompok inilah para remaja mulai mengikuti “irama massa”. Apa yang sedang model, nge-trend atau “musim”, mereka jadikan panutan. Begitu pula sebaliknya, yang tampak “ngampung”, udik atau sudah ketinggalan jaman alias tak up to date lagi, langsung saja mereka tinggalkan. Secara transparan tampak adanya sikap plastis yang sudah terpolakan.

Plastisitas pola konsumsi yang demikian merupakan sasaran empuk yang mudah dideteksi oleh pihak produsen. Bisa kita saksikan sendiri bagaimana hebatnya produsen “membius” kesadaran remaja melalui iklan-iklannya. Kiatnya mudah, tinggal menyisipkan kalimat dalam wujud tercetak atau dialog audial dan atau audio-visual yang sinkron dengan “irama massa”.

Media yang paling banyak memberikan tempat untuk iklan-iklan seperti itu adalah media cetak (majalah) yang khusus diperuntukkan bagi remaja. Di sana di iklankan produk-produk seperti T-shirt, kemeja, sepatu, arloji, dan masih banyak lagi. Televisi dan radio pun tidak ketinggalan untuk dijadikan sebagai medium yang ampuh. Lihat saja iklan perusahaan fast-food yang rata-rata menggunakan kaum remaja sebagai model iklannya. Jarang sekali yang menggunakan model orang dewasa, padahal ragam jenis fast-food tidak hanya di konsumsi oleh kaum remaja saja.

Sebuah perusahaan pembuat produk–produk kosmetika berpromosi via iklan begini: “…Di kampus, di pesta , di (tempat) senam ia selalu percaya diri”. Yang diajak berbincang menjawab. “itu kan karena ia selalu memakai …(nama merek hair-spray yang ditawarkan)”. Kemudian, dalam rangka menyambut grand-opening, sebuah perusahaan fast-food memberikan potongan harga sebesar 20% bagi pelajar. Kenapa hanya untuk pelajar? Tentunya ada udang dibalik batu, dan kita sudah bisa menerkanya.

“Polusi” Gaya Hidup

Ada beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan, bahwa konsumerisme yang diduga dimotori oleh iklan, tidak terbuktikan. Tetapi bila kita bersandar pada teori, dimana iklan yang efektif akan mampu meningkatkan pejualan suatu produk, maka kita tidak harus sepenuhnya mempercayai hasil penelitian tersebut.

Konsumerisme acapkali disebut sebagai gaya hidup konsumen yang negatif. Kata konsumerisme sendiri sebenarnya sulit untuk diberi definisinya. Seseorang yang memiliki uang berlebihan membeli barang yang tergolong tak terlalu penting. Apakah ia bisa dibilang konsumtif? Baginya, mungkin itu sesuatu yang wajar dengan dalih tuntutan status sosialnya. Bukankah kasus ini sedikit mengisyaratkan bahwa daya beli masyarakat (keadaan ekonomi masyarakat) membaik. Jadi, kalau daya beli masyarakat membaik, tidak pada tempatnya jika menuduh bahwa masyarakat sudah terjerumus dalam iklim konsumerisme.

Namun persoalannya akan menjadi lain bila kita mencermati pola konsumsi kaum remaja. Pengaruh iklan tampaknya mulai menggiring kaum remaja berperilaku (terlalu) konsumtif. Mereka banyak yang termakan persuasi iklan hanya untuk unjuk gigi bahwa mereka berpola hidup modern, tidak “kampungan” lagi, walau sebenarnya mereka tidak paham benar, apa hidup modern itu sebenarnya.

Direktur Intervista Advertising, Nuradi, pernah mengungkapkan tentang modernitas yang banyak dijadikan tema persuasi di dalam iklan. Dan pengaruhnya terbilang cukup kuat. Nuradi percaya bahwa iklan punya pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat (Prisma, No.6 Tahun 1977).

Kenyataannya memang demikian. Kata-kata bertema modernitas dan padanannya, terlampau dijunjung tinggi dan sudah terlanjur dianggap canggih. Akhirnya, gaya hidup juga mulai dikondisikan semoderen mungkin. Contoh sederhananya, yang dulunya suka makan baso, kini beralih mengunyah French-fries atau fried chicken ditemani segelas milk shake atau fruit punch sebagai pengganti teh pahit. Mungkin ini yang dianggap modern…?.

Jika takarannya masih normal atau masih dalam batasan tertentu, pasti ini bukanlah masalah. Tetapi kalau sudah berlebihan, maka akan terjadi semacam “polusi” gaya hidup yang secara akumulatif akan menjerumus pada tingkat konsumerisme yang dikhawatirkan banyak pihak. Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika sebagian besar remaja telah bergaya hidup komsumtif --terlalu berlebihan-- dalam mengkonsumsi sesuatu yang ditawarkan melalui iklan.

Satu-satunya penangkal tergiringnya kaum remaja ke arah gaya hidup yang terlalu konsumtif adalah dengan membiasakan mereka berpikir kritis lagi logis ketika berhadapan dengan iklan. Memang, kita tidak bisa melempar kesalahan kepada pengiklan dan penggarap iklan. Jawabannya tetap saja klise: ini tuntutan bisnis!.

Memang tidak mudah membiasakan berpikir kritis dan logis ini di tengah interaksi remaja. Hasil penelitian psikologi kognitif yang paling mutakhir pun mengatakan, bahwa manusia lebih sering berpikir tidak logis. Tetapi untuk mencoba membiasakannya tentu tidaklah salah, bukan?.

Dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 28 Juni 1992

MEMAHAMI POSISI SULIT IKLAN ROKOK

Oleh Deddy H. Pakpahan

Salah satu kiat menuju pola hidup sehat yang gencar dikumandangkan adalah dengan berhenti (atau tidak memulai) merokok. Melalui media massa atau buku-buku ilmu kesehatan, kita semua sudah cukup paham bahwa kebiasaan merokok amat berbahaya dan merugikan kesehatan. Bahwa ada sebuah hasil penelitian yang membeberkan, betapa kebiasaan merokok dapat mengurangi umur manusia. Namun semua itu tidak membuat gentar para pecandu rokok untuk tetap memasukan racun nikotin kedalam tubuhnya, sebatang demi sebatang.

Peringatan mengenai bahaya merokok serta kampanye anti rokok seringkali ditampilkan dalam wujud iklan layanan masyarakat (public service ads). Kegiatan yang berisi peringatan ini --atau dalam ilmu komunikasi disebut “admonition”-- biasa diprakarsai oleh organisasi-organisasi nirlaba alias non-profit, yang bekerjasama dengan pihak pengelola media massa. Kini, pemerintah pun telah sudi membubuhkan peringatan (warning) akan bahaya merokok di tiap kemasan pembungkus rokok yang berbunyi: “Merokok Dapat Merugikan Kesehatan”. Peringatan ini memang cukup halus, lantaran tidak ada tanda seru di akhir kalimat. Tidak seperti peringatan “Awas Listrik!”

Kedengarannya memang klise, namun itu sudah cukup menunjukan tingkat kepedulian dan keprihatian tersendiri. Tetapi apakah setiap himbauan untuk tidak merokok telah berhasil? Artinya, para pecandu rokok telah meninggalkan kebiasaan merokok secara berangsur-angsur serta berkurangnya jumlah perokok pemula. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah iklan himbauan untuk tidak merokok “dipatuhi” masyarakat.

Iklan Rokok

Pada bagian ini, kebiasaan merokok seta iklan layanan masyarakat bertema “stop merokok”, bukan yang ingin dicermati, melainkan iklan rokok itu sendiri. Di tengah gencarnya program-program kesehatan, iklan rokok tanpa bisa dibendung mengepung masyarakat --sekaligus membujuk-- untuk merokok.

Dibandingkan dengan iklan produk lainnya, iklan rokok boleh dibilang yang paling “malang”. Bagaimana tidak? Iklan rokok selalu mendapat “tekanan”. Tekanan yang dimaksud disini adalah segala bentuk himbauan, kampanye, atau bahkan larangan merokok. Walau tidak secara langsung menyebut merek-merek rokok --hal ini bisa diartikan bahwa semua merek rokok tidak patut dikonsumsi, karena alasan kesehatan-- namun harus kita akui bahwa ragam jenis himbauan tadi telah menjelma sebagai “lawan” bagi iklan-iklan rokok.

Di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) pun terdapat empat butir batasan yang memagari ruang gerak iklan rokok. Pertama, iklan rokok tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok. Kedua, iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah sehat atau terbebas dari gangguan kesehatan. Ketiga, iklan tidak boeh ditujukan terhadap anak di bawah usia 16 tahun dan atau wanita hamil. Keempat, menampilkan mereka di bawah usia 16 tahun di dalam iklan (rokok).

Batasan yang sudah diberikan TKTCPI, bisa kita sorot dari dua dimensi kepentingan, yakni kepentingan masyarakat luas dan kepentingan pihak produsen rokok (yang memasang iklan). Aturan main dalam TKTCPI secara jelas ingin melindungi masyarakat luas dari terpaan (negatif) iklan-iklan rokok. Secara logika, tujuannya tentu positif sekali. Tetapi bagaimana pula dengan nasib produsen rokok itu sendiri.

Kepentingan atau tujuan-tujuan komersial produsen rokok jelas terancam. Bayangkan, iklan produk (generic ads.) lainnya boleh sesuka hati tampil membujuk calon konsumen untuk memakai produk yang ditawarkan. Tapi iklan rokok tidak boleh mempersuasi atau menstimuli orang untuk (mulai) merokok. Bukankah teknik persuasi stimulus merupakan kekuatan ampuh yang diandalkan untuk mempromosikan suatu produk.

Iklan rokok merupakan pengecualian, karena dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok amat negatif. Iklan rokok benar-benar berdiri di antara ragam tekanan. Namun apa mau disebut, iklan rokok tetap eksis di dalam masyarakat, seirama dengan “memasyarakatkan” kebiasaan merokok. Bila kita mau mengibaratkan kampanye anti merokok sebagai “lawan” dari iklan rokok, lantas siapa sebenarnya yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ini? Iklan rokok atau iklan yang menghimbau untuk tidak merokok.

Di bawah judul iklan Mempengaruhi Konsumen merokok, Joseph Pandy menulis begini: “…Salah satu penyebab meningkatnya konsumen merokok adalah penampilan iklannya yang begitu menarik dan menyolok, sehingga konsumen --khususnya para remaja-- termakan olehnya (Kompas, 31 Mei 1992).

Tulisan staf YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) pusat itu mengacu pada data mengenai produksi rokok, dimana pada tahun 1991 terjadi penurunan sebesar 6,39 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi --walau terjadi penurunan produksi-- pemasukan dari cukai rokok ke kantong Negara ini mengalami kenaikan sebesar 20,22 persen. Pemasukan tersebut bukan hanya disebabkan karena kenaikan tarif cukai rokok, melainkan juga dipengaruhi karena makin meningkatnya konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Berpangkal dari uraian ini, sementara kita telah tahu bahwa iklan rokok adalah pemenang dari pertarungan melawan iklan “stop merokok”.

“Vonis” untuk Iklan Rokok

Rasanya terlalu pagi bagi kita untuk menjatuhkan “Vonis”, bahwa iklan rokok adalah faktor penyebab utama yang menjadikan seseorang merokok. Dalam mengupas permasalahan ini, rasanya juga kurang adil jika kita hanya memandang iklan rokok dari sisi negatifnya saja. Sebab, ternyata ada banyak faktor di luar iklan rokok yang mampu menciptakan sederet perokok aktif.

Satu di antara faktor tersebut adalah pergaulan. Banyak orang mengemukakan alasannya mengapa ia merokok, karena mereka tidak mau tersisih dari lingkaran pergaulan. Hal ini sering kita jumpai di kalangan remaja. Seorang remaja yang tidak merokok disebut “kuper” alias kurang pergaulan. Atau ada pula yang menyebutnya “kampungan”, entah apa relevansi kampungan dengan tidak merokok.

Merasa harga dirinya terancam, mereka bergegas mencoba --yang berarti juga menyesuaikan diri dengan lingkara pergaulan-- satu dua batang rokok dihisap dan lama-kelamaan terlena. Sama sekali ini bukan pengaruh iklan!

Namun bukan berarti iklan rokok tidak punya sumbangan berarti atas kebiasaan merokok di kalangan masyarakat. Iklan rokok jelas punya pengaruh, penulis percaya itu. Namun prosentase orang merokok karena iklan jauh lebih kecil di bandingkan prosentase orang merokok Karena terdesak pergaulan. Benar tidaknya bisa kita uji dengan pendekatan yang sederhana, yakni dengan mendeteksinya melalui terpaan media (media exposure).

Kebiasaan yang berlaku universal dalam diri seseorang adalah menghabiskan waktunya untuk pengurus pekerjaan atau bercakap-cakap ketimbang mengikuti isi pesan media massa. Nah, otomatis iklan yang termuat di dalam media tersebut --termasuk iklan rokok-- tidak selalu mendapat perhatian utama. Apalagi jika iklan-iklan yang mereka lirik, sebelumnya pernah mereka lihat. Kali ini mereka paling hanya meliriknya sekejap saja.

Posisi Sulit

Posisi sulit iklan rokok memang melahirkan kerumitan tersendiri. Ini lebih jelas terlihat di dalam tampilan-tampilan dan isi pesan iklan rokok. Kalau saja TKTCPI yang dijadikan sebagai sentral acuan, maka secara faktual --sampai kini-- masih banyak kita menemukan iklan-iklan rokok yang mencoba meloncati “pagar-pagar” etis TKTCPI.

Dikatakan di dalam TKTCPI, bahwa iklan rokok tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok. Tetapi coba lihat iklan rokok Bentoel yang digarap biro iklan AIM Communications, judulnya berbunyi: “Bentoel Pilihan Betul”. Bukankah calon konsumen telah dibujuk untuk memilih atau dengan kata lain segera menentukan pilihan yang betul (yakni menghisap rokok Bentoel).

Kemudian tengok iklan rokok Gudang Garam Filter, dengan melegitimasi secara sepihak bahwa produknya adalah selera pria, “Pria Punya Selera”. Djarum Super tak mau kalah, bahkan bernada menyerang Gudang Garam dengan penampilan iklannya berjudul “Bukan Sembarang Pria”. Atau kalau mau lebih jelas, lihatlah iklan rokok Dji Sam Soe, yang isi pesannya berbunyi: “Aaah …nikmatnya! Menghisap Dji Sam Soe…” kalau bukan membujuk konsumen untuk merokok, lantas apa namanya? Menjanjikan suatu kepuasan? Sama saja, tentunya.

Mendeteksi Motivasi

Satu hal yang penting dalam bidang periklanan adalah melakukan penelitian konsumen (consumer research), yakni untuk meneliti motivasi dan situasi calon konsumen. Fransisco M. Nicosia mengetengahkan dua bentuk motivasi mengapa seorang mengkonsumsi suatu produk, yakni motivasi primer dan motivasi selektif. Motivasi primer adalah orientasi terhadap produk yang diperlukan. Sedangkan motivasi selektif merupakan motivasi terhadap merek yang memperoleh preferensi khalayak. Dijelaskannya, kuat lemahnya suatu motivasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor perasaan dan faktor rasio, atau penggabungan dari kedua faktor tersebut.

Dalam kaitan ini, konsumen adalah sangat menentukan --berdasarkan preferensinya-- untuk memilih apakah ia akan membeli suatu produk atau tidak. Jadi sekali lagi bukan karena kekuatan iklan saja. Adakalanya seorang perokok tertarik melihat tayangan sebuah iklan rokok, karena unsur visualnya memikat. Tetapi, belum tentu --dengan hanya melihat iklan-- ia beralih menghisap rokok yang diiklankan itu. Konsumen bukanlah khalayak yang pasif, disuruh menghisap suatu merek rokok langsung patuh.

Jadi, iklan rokok --semenarik apapun-- sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang berarti apabila tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok cukup tinggi. Namun disisi lain, kita juga jangan langsung percaya pada premis barusan, bahwa iklan rokok tak punya kekuatan membius. Sebab, terpaan iklan yang datang bertubi-tubi, sedikit banyak akan berpengaruh saat kita membuat keputusan. Sekarang tinggal bagaimana kita mengarifi eksistensi iklan rokok di tengah-tengah masyarakat.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 7 Juni 1992

TERPERANGKAP SEBAGAI KONSUMEN KOMPULSIF

Oleh Deddy H. Pakpahan

Di antara kita pasti tidak ada yang bisa menjawab secara tepat, kapan kebiasaan “shopping” di kalangan wanita Indonesia mulai tumbuh. Tak usah repot-repot mengernyitkan dahi, yang pasti kebiasaan itu muncul ketika supermarket, departement store, plaza, maupun mall merebak, terutama disudut kota-kota besar.

Anggapan bahwa kaum wanita paling ‘getol’ berbelanja dibandingkan kaum pria memang bisa dimaklumi, walau banyak juga kaum pria sekarang yang keranjingan hobi berbelanja. Di Amerika Serikat, dari hasil penelitian Dr. Thomas O’Guinn dari College of Communications, Universitas Illnois --seperti pernah diberitakan The International Herald Tribune-- bisa dilihat bahwa nafsu belanja masyarakat Amerika Serikat amat menggebu-gebu dan terjadi di semua tingkat penghasilan, dari mereka yang berpenghasilan di bawah US$ 10 ribu/tahun sampai yang berpenghasilan US$ 300 ribu setahunnya.

Selain itu penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sebanyak 6 persen warga Amerika Serikat telah terperangkap sebagai ‘konsumen kompulsif’ atau disebut compulsive-spenders oleh kalangan ahli jiwa di Negara Paman Sam sana. Konsumen kompulsif adalah mereka yang dalam membeli sesuatu tidak didasarkan pada pertimbangan akal sehat, melainkan karena dorongan emosi yang kuat. Namun kenyataan yang cukup menarik dari penelitian Dr. Thomas ini adalah, kaum hawa merupakan mayoritas di antara sekian konsumen kompulsif di AS.

Majalah Wanita

Suatu akibat tidak akan pernah lahir tanpa adanya sebab. Begitu pula halnya dengan kebiasaan shopping di kalangan wanita (termasuk ibu rumah tangga maupun remaja putri). Salah satu penyebab (faktor eksternal) adalah terpaan media massa (media exposure) yang isi pesannya, termasuk iklan, tidak bisa ditampik karena sudah menjadi kebutuhan.

Dari sekian media massa yang ada, majalah wanita tampaknya paling banyak berperan dalam menggiring kaum hawa --sebagai khalayak pembacanya-- menjadi konsumen kompulsif. Majalah-majalah seperti Kartini, Femina, Dewi, atau juga majalah untuk remaja puteri seperti Gadis, banyak sekali memuat iklan-iklan produk yang sifatnya bukan merupakan barang-barang kebutuhan primer, alias cenderung lux. Mulai dari tissue atau kapas kecantikan sampai mobil sedan “kebanggaan ratu rumah tangga”, iklannya bertubi-tubi menyerang halaman demi halaman majalah wanita. Sebagian besar memang bersifat kosmetis semata.

Memang tidak bisa disangkal bahwa majalah jenis ini memiliki semacam daya tarik, sekaligus kekuatan untuk memikat perhatian pengiklan. Atau mungkin ada semacam kesamaan persepsi di kalangan pengiklan, bahwa halaman demi halaman di majalah wanita merupakan ruangan yang potensial untuk digarap (tentu dengan pertimbangan bahwa wanita itu senang shopping).

Hal tersebut bisa dibuktikan dengan melihat total belanja iklan untuk majalah wanita. Kita bisa merujuk pada perhitungan yang dibuat Monitoring Matari, yang membandingkan pendapatan iklan di 6 (enam) majalah wanita dan 1 (satu) tabloid wanita pada tahun 1990 dan 1991 (lihat tabel).

Mengapa mengambil contoh di tahun 1990 dan 1991? Karena pada tahun tersebut terjadi penurunan belanja iklan di beberapa media yang di sebabkan penetrasi TV swasta. Belanja iklan tahun 1990 sebesar Rp 82 miliar menjadi Rp 60,7 miliar pada 1991 (sumber: Asian Advertising & Marketing, April 1992). Lantas apa yang terjadi di balik angka-angka tersebut.

Ternyata majalah wanita merupakan media yang ‘tak mempan’ dengan imbas masuknya TV swasta. Dari 10 besar majalah yang paling banyak menyedot iklan, enam diantaranya adalah majalah wanita, termasuk dua majalah remaja puteri dan satu tabloid wanita.

Mencoba membuka rubrik per rubrik di beberapa majalah wanita, tampak bahwa memang spesialisasi yang disandangnya mamiliki peluang besar untuk ‘dilirik’ pengiklan. Rubrik konsultasi kecantikan misalnya, tentu klop dengan iklan-iklan produk kecantikan seperti lipstick atau parfum. Rubrik yang mengupas mengenai busana cocok diintervensi iklan-iklan busana karya desainer kondang. Dan masih banyak rubrik lain yang memang layak diisi iklan-iklan produk yang memanjakan wanita.

Belum lagi jika pengiklan mau memanfaatkan ‘naluri keibuan ‘ --yang memang ada pada tiap-tiap wanita-- untuk mempromosikan produk seperti makanan atau susu bayi. Tak jarang pula kita dapati iklan yang menggunakan persuasi “Agar suami betah di rumah” untuk produk seperti bumbu masak, dan masih banyak contoh lainnya.

Bukankah setiap wanita (yang telah berkeluarga) ingin mengekspresikan rasa kasih sayangnya kepada suami dan anak-anaknya setransparan mungkin. Sedangkan untuk dirinya sendiri, tiap wanita pasti ingin tampil dengan kecantikan fisik (Physical Attractivenes) yang ukurannya hanya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Maka jangan heran jika fokus kampanye iklan-iklan produk (untuk) wanita sebagian besar ingin memberikan hasil perubahan fisik seatraktif mungkin, entah dibagian bibir, bulu mata, atau kuku di jemari kaki dan tangan.

Strategi Menjerat

Dalam bukunya berjudul Mass Media and Their Publics in News, Advertising, Politics, Kathlenn H. Jamieson sempat menceritakan mengenai kondisi belanja iklan media massa di Amerika Serikat tahun 1981, dimana saat itu perekonomian AS dirundung resesi. Belanja iklan di majalah seperti Time, Newsweek, Reader’s Digest, Cosmopolitan, dan New Yorker mengalami penurunan yang drastis. Newsweek misalnya, kehilangan 100 halaman iklannya.

Para pengiklan di AS waktu itu berpikir, sebaiknya setengah dari biaya iklan dialihkan ke media TV. Salah satu alasannya, produk-produk yang di iklankan dalam majalah wanita sebenarnya dapat diiklankan secara langsung di banyak toserba dan media TV. Bahkan menurut mereka keuntungannya akan lebih besar karena mampu menembus khalayak yang lebih luas. Namun bersamaan dengan itu Kathlenn membuat sebuah catatan, bahwa pengiklan disana tetap memilih majalah-majalah spesifik sebagai media iklannya.

Dalam strategi beriklan, memilih media yang sesuai dengan produk yang akan diiklankan memang memerlukan banyak sekali pertimbangan. Ambil contoh iklan pembalut wanita yang dengan peragaan tersendiri tampil di layar TV. Perlu diingat, tidak semua pemirsa bersikap permisif terhadap peragaan tersebut (karena pemirsa TV bukan hanya wanita). Untuk pembalut wanita, idealnya memang diiklankan secara tercetak. Disini bisa dengan leluasa diinformasikan kecanggihannya, tak bocor misalnya. Terlepas apakah dibaca kaum pria, toh mereka tidak berkepentingan dalam hal ini.

Di antara tuntutan kehidupan sosial yang semakin modern, terkadang kebutuhan manusia menjadi tidak rasional lagi. Disadari atau tidak, mereka yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat modern akan segera beranjak menjadi konsumen kompulsif. Apalagi budaya masyarakat kota yang telah terjangkiti ‘budaya gengsi’.

Di sisi lain, potret kondisi seperti ini akan dipandang oleh para pengiklan sebagai sesuatu yang potensial dan mereka akan terus mengembangkan konsep strategi menjerat konsumen.

Wanita memang ‘getol’ berbelanja. Selama masih wajar tingkatannya mungkin tak mengapa. Mungkin Jepang adalah contoh yang menarik, dimana kebanyakan ibu-ibu rumah tangga di sana membeli lukisan hanya karena tetangganya sudah duluan membeli. Padahal mereka sebenarnya buta untuk menilai seni dari sebuah lukisan yang mereka beli. Latah, itu memang lakon kebanyakan ibu-ibu.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 28 Februari 1993.

TENDENSI GIGANTISME DALAM PERIKLANAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Ada sebuah topik perbincangan di kalangan praktisi periklanan yang sampai sekarang masih kerap diperdebatkan. Topik tersebut pada intinya ingin menanyakan, apakah sebuah iklan perlu diproduksi secara besar-besaran.

Dengan budget iklan yang jauh di atas kategori memadai, sebuah perusahaan besar cenderung memilih bentuk-bentuk iklan dalam ukuran raksasa. Di halaman-halaman surat kabar atau majalah, iklan berukuran besar ini tampil memenuhi lahan yang ada. Di media elektronik --televisi dan radio-- iklan-iklan ini bisa tampil “melar” dengan durasi yang lebih lama dibandingkan iklan lainnya.

Untuk media luar ruang (out door), biasanya dalam wujud billboard, perusahaan besar membangunnya besar-besaran pula. Iklan itu seakan ingin menunjukkan jatidiri perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan untuk perusahaan yang termasuk dalam klasifikasi di bawah memadai dengan keterbatasan anggaran iklan, apa boleh buat, hanya kebagian kolom-kolom mungil di media cetak dan durasi singkat di media elektronik.

Berpangkal dari kenyataan tersebut --dimana terdapat kecenderungan memproduksi iklan secara besar-besaran (penulis ingin sekali menyebutnya sebagai “tendensi gigantisme”, karena merujuk pada sesuatu yang serba besar dan “wah”)—agaknya memang telah lahir semacam konsensus tak tertulis di dalam praktek periklanan, bahwa sebuah perusahaan yang assetnya berlimpah-ruah “wajib” memproduksi iklannya dalam ukuran besar.

Sebuah studi mengenai periklanan di Amerika Serikat yang ingin meneropong bagaimana respon publik terhadap iklan yang disajikan di halaman surat kabar dan majalah, menghasilkan kesimpulan yang menarik. Dikatakan bahwa kebanyakan pembaca cenderung menyamakan ukuran sebuah iklan dengan perusahaan yang memasangnya. Ini berarti khalayak pembaca akan memiliki anggapan bahwa perusahaan “XYZ” adalah sebuah perusahaan yang besar bila memasang iklan dengan ukuran besar. Begitu juga sebaliknya.

Anggapan yang menyamakan ukuran iklan dengan kondisi (asset) perusahaan seperti itu, tidak selamanya benar. Bahkan boleh dibilang, kita telah terperosok ke dalam kesimpulan sebuah korelasi yang kurang bisa di pertanggungjawabkan validitasnya. Mengapa? Karena bisa saja perusahaan kecil memasang iklan secara besar-besaran, walau konsekuensinya anggaran mereka terkuras habis, agar masyarakat menilai bahwa perusahaan itu memiliki prospek komersial yang baik, misalnya.

Alec Benn, seorang professional periklanan di AS, pernah mengomentari topik ini di dalam bukunya The 27 Most Common Mistakes in Advertising (menjalani cetak ulang tahun 1961). Katanya, para pekerja atau penggarap iklan lebih suka menciptakan iklan dalam ukuran yang besar, atau menggarap iklan dengan durasi yang panjang. Sebab dengan begitu mereka lebih memiliki keleluasaan menuangkan ide-ide kreatif menjadi sebuah pesan iklan. Strategi pendekatan kepada target market pun lebih mudah disusun. Iklan-iklan big size diprediksi sanggup mendramatisir proses penyaluran isi pesan dan lebih ampuh dipaki sebagai alat menjual.

Banyak perusahaan berkehendak iklannya dirancang secara besar-besaran. Mengapa? Karena biaya yang mesti dikeluarkan sebagai pengganti hasil proses kreatif antara iklan berukuran besar dengan iklan berukuran kecil, menurut Benn adalah sama. Yang membedakan hanya cost penyajian dimasing-masing media.

Tendensi Gigantisme

Apa yang disebut sebagai “tendensi gigantisme” di dalam praktek periklanan tidak lain adalah kecenderungan para pengiklan dan biro iklan untuk menciptakan sebuah iklan dalam ukuran besar, dan memiliki kesan menakjubkan.

Selain hendak menyodorkan gambaran jatidiri perusahaan atau corporate image yang positif di tengah masyarakat, dari segi efektifitas pesan, kecenderungan ini dipandang mampu memperlancar arus distribusi produk kepada konsumen atau membangkitkan kepercayaan yang lebih kuat di tengah masyarakat.

Namun tidak selamanya iklan mesti ditampilkan secara gigantis. Ada batasan-batasan tertentu. Alec Benn berpendapat bahwa salah satu kesalahan yang umum terjadi didalam praktek periklanan adalah membuat iklan dengan ukuran jauh lebih besar dari yang semestinya. Nah, ini yang amat perlu untuk ditilik kembali.

Sebagai contoh misalnya sebuah perusahaan pemroduksi salep kulit. Alangkah naifnya perusahaan tersebut bila ngotot ingin memasang iklan satu halaman penuh di sebuah surat kabar berkaliber nasional. Padahal, sambil menghemat pengeluaran, masih ada alternatif ukuran lain yang mungkin tidak kalah efektifnya. Di sinilah, pentingnya bertindak cukup arif lagi selektif dalam menentukan ukuran sebuah iklan.

Tugas utama yang diemban oleh sebuah iklan adalah bagaimana ia mampu menangkap perhatian (to capture attention) khalayak. Kemudian setelah itu, tugas kedua adalah mempertahankan perhatian (to hold attention) yang telah didapat. Lalu, memakai kondisi-kondisi tersebut untuk meggerakkan calon konsumen bertindak (to make usefull), yakni mengkonsumsi produk atau memakai jasa yang ditawarkan.

Tugas-tugas yang lebih merupakan tujuan objektif dari iklan, seperti disebut diatas, jelas membutuhkan perangkat atau instrumen yang kompleks. Pada tahap memburu perhatian khalayak, unsur-unsur di dalam iklan seperti: warna, foto, model, naskah, ukuran, bentuk-bentuk huruf dan masih beberapa lagi lainnya, merupakan unsur potensial yang bisa dimodifikasi (bahkan dimanipulasi) untuk menggiring perhatian khalayak penerima iklan.

Untuk mempertahankan perhatian yang telah diterima, biasaya pengiklan menggunakan teknik pengulangan, yakni dengan berkali-kali menampilkan iklannya. Sedangkan untuk menggerakkan konsumen bertindak, biasanya pengiklan menyerukan bahwa produk yang ditawarkan (bisa juga dalam bentuk jasa) memiliki keuntungan komparatif yang lebih unggul dibandingkan produk/jasa lainnya yang sejenis. Masih banyak kiat lain yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan itu.

Tidak Harus Besar

Memang, untuk alasan-alasan tertentu, kadangkala iklan memerlukan ruang halaman yang luas atau durasi yang sedikit lebih panjang. Iklan grand opening sebuah hotel mewah, misalnya. Banyak perusahaan/instansi yang ingin mengucapkan selamat. Logo-logo mereka kerap disertakan, yang kalau dihitung-hitung satu halaman surat kabar saja tidak cukup menampungnya. Kalau memang begitu, tidak ada salahnya menyewa ruang yang sedikit lega. Iklan gigantis agaknya merupakan solusi yang tepat untuk kasus ini.

Lantas bagaimana halnya dengan iklan yang hanya berkehendak mempromosikan suatu produk atau jasa tertentu? Jawabannya, ukuran iklan kategori ini tidak harus besar. Bisa pengiklan memanfaatkan warna sebagai unsur yang mendapat penekanan. Selain itu, tidak tertutup pula kemungkinan membangun daya tarik melalui pemilihan jenis huruf-huruf iklan. Atau, memilih model yang tepat untuk visualisasi iklan. Jadi, bukan hanya ukuran iklan yang bisa dijadikan landas prediksi penilaian, berhasil tidaknya sebuah pesan promosi.

Problema ini akhirnya akan bermuara pada ihwal mereka. Bentuk pesan iklan, seperti pernah dikatakan Robert Gilliam Scott, guru besar pada Departement of Design, Yale University, bahwa reka bentuk adalah tindakan kreatif yang memenuhi maksudnya. Maka dalam menciptakan iklan pun maksud dan tujuannya harus diusahakan tidak mengalami bias. Walaupun tampil dengan ukuran kecil, bukan berarti pengiklan harus berkecil hati. Manfaatkanlah unsur-unsur potensial seoptimal mungkin. Itu yang perlu dikerjakan.

Tanpa bermaksud merendahkan iklan-iklan yang telah tampil secara gigantis, seyogyanya pengiklan mampu mengintip peluang-peluang baru yang masih kosong. Biaya memasang iklan satu halaman penuh di sebuah surat kabar umpamanya mencapai 20 juta, untuk sekali pemuatan. Bukankah lebih baik meyewa seperempat halaman dengan biaya sekali pemuatan Rp 5 juta, tetapi tampil sebanyak empat kali. Taktik beriklan yang demikian lebih efektif dan efisien jika dilihat dari sisi pengeluaran.

Untuk media elektronik seperti televisi misalnya, iklan dalam bentuk spot berdurasi pendek, juga merupakan alternatif yang baik, asal digarap secara tidak “asal-asalan”. Memang biayanya lebih murah, tapi bukan berarti “murahan”.


Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 4 Oktober 1992

TAK ETIS MENGEKSPLOITASI ANAK JADI OBYEK IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Hingga saat ini ternyata masih banyak dijumpai iklan-iklan produk (generic advertising) yang kurang etis, yang tidak mematuhi tata krama dan tata cara yang telah di tentukan.

Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) disebutkan bahwa anak-anak tidak boleh dipakai (sebagai model) untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak. Kalimat ini dapat diartikan bahwa anak-anak tidak selayaknya dijadikan obyek sebuah iklan, dimana produk yang ditawarkan didalamnya tidak atau belum layak dikonsumsi oleh mereka. Namun ternyata masih banyak iklan produk atau jasa yang masih menggunakan anak-anak sebagai obyeknya, baik dalam bentuk gambar di media cetak (printed media), audial (suara) melalui gelombang radio maupun secara audio-visual (suara dan gambar) pada layar TV (swasta).

Kecenderungan pihak pemasang iklan (pengiklan), pembuat iklan atau agen periklanan (advertising agency) dalam hal memanfaatkan potensi seorang anak sebagai model iklan, dengan tidak memperhatikan segi etis periklanan, lebih memperhatikan adanya usaha (disadari atau tidak) untuk mengeksploitasi mereka. Dari sini jelas bahwa batasan eksploitasi akan dipahami secara baik dengan terlebih dahulu melihat, jenis ikla produk apa yang menggunakan anak-anak sebagai “bintang” iklannya.

Kalau saja seorang anak dipakai sebagai model iklan dari sebuah perusahaan pemroduksi coklat atau kembang gula, tentu saja tidak menyalahi etika yang berlaku. Karena produk-produk seperti itulah yang biasa dikonsumsi oleh anak-anak. Terlepas dari masalah kesehatan gigi bagi anak-anak. Atau yang lebih bersifat konstruktif adalah iklan sebuah jasa Bank, dimana terdapat jenis tabungan yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak. Iklan seperti ini dapat menumbuhkan sikap hemat dengan membiasakan menabung semenjak usia dini.

Tetapi jika anak-anak dipakai sebagai obyek untuk mengiklankan produk seperti mobil, mesin cuci atau rumah disebuah kawasan pemukiman yang baru, agaknya ini kurang dapat diterima dan dibenarkan, sekaligus melanggar etika periklanan.

Setiap kali membuka halaman demi halaman majalah atau surat kabar, mendengarkan radio, atau menonton TV, sering dijumpai iklan-iklan yang kurang etis. Karena kekaguman kita pada trick yang telah dirancang dalam sebuah iklan, maka sering tidak disadari bahwa hal itu merupakan usaha untuk menarik perhatian (capture attention) kita. Bila usaha tersebut berhasil, maka pihak pembuat iklan akan mempertahankan perhatian tadi (hold attention) yang kemudian dilanjutkan dengan tahap menggerakkan calon konsumen untuk bertindak (make usefull). Ketiga tahapan ini semuanya tertuang di dalam iklan.

Perusahaan mobil Toyota telah memproduksi jenis iklan ini. Lihat saja di halaman majalah atau surat kabar terpampang dalam ukuran display, dimana iklan tersebut berbunyi: “Sudahkah anda termasuk dalam 14.000.000 pemilik Corolla di seluruh dunia?”, kemudian perusahaan elektronik terkemuka Toshiba yang merancang kalimat iklannya seperti ini: “Lho, mesin cuci ini koq tidak berisik…!”.

Kedua iklan di atas menggunakan anak-anak sebagai model iklannya. Yang pertama menggambarkan dua orang anak tengah mengintip ke dalam mobil jenis Corolla. Sedangkan yang kedua, poster iklannya dirancang dengan visualisasi seorang anak berpakaian dokter yang tengah memeriksa sebuah mesin cuci dengan stetoskop. Timbul pertanyaan, apakah anak-anak sudah layak mengkonsumsi sebuah kendaraan atau seperangkat mesin cuci. Kalau belum, maka harus diakui bahwa kedua bentuk iklan di atas sudah menyalahi apa yang disyaratkan di dalam TKTCPI.

Tipu Daya Iklan dan Alternatif

Tipu daya iklan (advertising gimmick) adalah usaha apa saja yang dilakukan pihak yang menginginkan keuntungan melalui iklan sebagai mediumnya tanpa pertimbangan etis dan moral. Etis atau tidak sebuah iklan agaknya bukan hal yang terlalu prinsipil. Yang penting, masyarakat sebagai calon konsumen digiring sesegera mungkin mengambil keputusan untuk membeli produk atau jasa yang diiklankan.

Pakar pemasaran, Frank Jefkins, dalam bukunya “Introduction to Marketing, Advertising and Public Relation” (1983) mengingatkan, bahwa kegiatan periklanan harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak berlebihan dalam pernyataan-pernyataan, agar masyarakat tidak curiga terhadap pesan, sehingga pesan itu dapat diterima dengan baik.

Mengenai mesin cuci, rasanya masyarakat yang mengkonsumsi alat keperluan rumah tangga ini tidak hanya memperhatikan tingkat kebisingan untuk membuat keputusan membelinya atau tidak. Tetapi yang diinginkan adalah kemampuan kerja mesin cuci untuk menghasilkan cucian yang bersih. Pemakaian anak-anak dalam iklan ini hanyalah sebagai kiat membangkitkan perhatian saja, yang oleh Otto Kleppner diklasifikasikan pada tingkat the Pioneering stage.

Tetapi yang menjadi masalah sekarang adalah bukan bagaimana tahap-tahap sebuah iklan --secara teoritis-- dihidangkan kepada masyarakat. Mengenai tahapan ini, bisa saja disusun sesuai kebijaksanaan dari masing-masing pengiklan. Namun masalah yang dirasakan mendesak untuk segera dipecahkan adalah bagaimana ”mengetiskan” iklan, khususnya yang menggunakan anak-anak sebagai obyek. Ini perlu untuk menghindari tipu daya iklan yang seringkali merugikan konsumen.

Anak-anak telah menjadi alternatif model iklan yang dipandang potensial. Premis ini dapat dibuktikan kebenarannya dengan memperhatikan iklan-iklan, seperti mulai dari snack, coklat, sampai mobil atau rumah. Singkatnya, golongan usia dini ini telah dipergunakan sebagai alat dan juga kiat untuk mengajak konsumen mengkonsumsi berbagai produk.

Jangkauan (range) media massa adalah sangat luas, yang berarti mampu ditangkap oleh masyarakat dalam jumlah yang besar. Karena iklan dan media massa saling berkaitan --ibarat ikan dan air-- maka iklan juga diterima secara meluas dalam masyarakat yang heterogen.

Kesenjangan Sosial

Adanya iklan di majalah atau surat kabar, radio dan televisi yang menggambarkan bagaimana seorang anak merasa “puas” jika telah memiliki mobil atau mesin cuci, walau mereka sebenarnya belum saatnya mengkonsumsi benda-benda tersebut. Secara psikologis akan membuat “iri hati” anak-anak yang secara kebetulan menikmati iklan tersebut. Jika secara emosional mereka dikatakan masih labil, maka tingkah laku yang mencerminkan rasa rendah diri atau bahkan tidak percaya diri, akan memunculkan pribadi yang kurang menguntungkan bagi si anak.

Seorang anak yang tinggal dalam keluarga dengan status ekonomi serba kekurangan, mungkin merasa minder tatkala di halaman sekolah ia menjumpai teman sekelasnya yang diantar mobil. Dan …astaga, mobil itu jenisnya mirip dengan yang dilihat anak tersebut di halaman sebuah Koran bekas di rumahnya.

Ini hanya contoh kecil saja yang mungkin berguna untuk ditelaah ulang, khususnya oleh para praktisi periklanan di Indonesia. Mengeksploitasi anak-anak di dalam iklan memang baru dianggap sebagai masalah kecil, tetapi akan menjadi masalah besar jika tidak dari sekarang kita mau peduli, memikirkannya.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 22 Desember 1991

MUSIK DAN LAGU SEBAGAI IDENTITAS PRODUK

Oleh Deddy H. Pakpahan

Musik dan lagu, menurut opini universal manusia merupakan media pengungkap perasaan dan jiwa yang paling ekspresif dan paling “mengena”. Maksudnya, tatkala seseorang sedang dilanda pilu, ia cenderung mendengarkan lagu dengan intonasi musik berirama sendu dan mendayu-dayu. Namun apabila dewi keberuntungan tengah memayungi nasibnya, yang berarti ia tengah bersukacita, maka lagu dengan beat kegembiraan dipersilahkan mengalun ditelinganya.

Begitulah pendeskripsian sederhana yang bisa dan acap kali ungkapkan terhadap musik dan lagu yang beraneka jenisnya. Dari musik irama gurun pasir, keroncong, pop, blues, rock, dangdut sampai jazz. Dari lagu-lagu bernada cengeng (yang pernah dilarang pemerintah), nada kegelisahan sosial, romantis, sampai lagu-lagu yang mampu membuat hati berbinaar-binar.

Dalam mempersiapkan sebuah iklan untuk ditampilkan pada media elektronik (TV dan radio), unsur musik dan lagu sebagai efek audio yang susun sedemikian rupa untuk mengiringi iklan tersebut, sering kurang memperoleh perhatian serius. Tidak sedikit iklan radio maupun TV mengabaikan kedua unsur ini, dengan anggapan tidak memberikan efek positif, dan bahkan ada iklan TV/radio yang menanggalkan unsur musik dan lagu dengan hanya mengandalkan narasi dari dua orang atau lebih. Padahal, baik musik maupun lagu, di dalam iklan media elektronik memiliki fungsi yang cukup vital, yakni untuk mempertajam daya ingat audience terhadap suatu produk. Musik serta lagu yang diciptakan secara khusus untuk suatu produk, tidak berlebihan bila disebut sebagai identitas atau jatidiri dari produk tersebut.

Untuk menguji terdapatnya korelasi tidak negatif antara musik dan lagu dengan daya ingat pendengar radio atau pemirsa TV terhadap suatu sajian iklan, sebagai dasarnya bisa dikorek dengan mengamati sajian beberapa iklan media elektronik seperti di bawah ini.

Ketika kita mendengar lantunan musik dan lirik lagu, “Rasa lezat, hidup sehat, dunia cerah … susu saya, susu …” (susu apa?), walau belum habis ditendangkan, ingatan kita pasti langsung disadarkan pada jingle iklan susu Bendera. Kemudian ini, “Dunia berputar ..” dan berakhir dengan “segarnya duniaku…” pasti ingatan kita akan tertumpu pada iklan sabun Lux. Satu lagi contoh,”sejak pertama… senyummu… dan diakhiri dengan “…kuingin dunia tahu…” itu sebagian lirik lagu pasta gigi Close-Up, jawab kita spontan. Berangkat dari sini, maka kita akan setuju dengan premis yang mengatakan, bahwa lantunan musik plus lirik lagu yang diciptakan khusus untu suatu produk, mampu menggugah daya ingat manusia terhadap keberadaan produk tersebut.

Pengaruh Media

Masing-masing media massa jika dibandingkan antara satu dengan lainnya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Kharakteristik media yang demikian memunculkan dua kutub, yakni kutub keunggulan dan kutub kelemahan. Setiap media memiliki kedua kutub ini. Bisa didengarkannya musik dan lagu atau semua suara yang bersifat auditif oleh panca indera pendengaran manusia, merupakan kutub keunggulan yang dimiliki oleh media elektronik. Kalau memang begitu, maka penggarap iklan-iklan dalam wujud audio (pada radio) dan audio-visual (pada TV) yang tidak memanfaatkan keunggulan tersebut, boleh dikatakan telah “melupakan” apa yang seharusnya dilakukan.

Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (1992), Rhenald Kasali --pengarangnya-- memaparkan sekelumit ihwal musik di dalam iklan. Katanya, musik yang sederhana dan mudah, baik nada maupun liriknya, akan lebih diingat atau bahkan dinyanyikan oleh pendengarnya dalam berbagai kesempatan. Argumentasi ini bisa diuji secara praktis dengan mengambil contoh potongan lirik lagu (dan membayangkan alunan musiknya) iklan Susu Bendera, Lux, atau Close-Up seperti diatas.memang terbukti, secara sadar atau tidak disadari kerap kali kita mendendangkan lirik lagu iklan dalam suatu kesempatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Kekuatan sebuah iklan, yakni tingkat keefektifannya dalam mempengaruhi reaksi individual, amat dipengaruhi oleh tingkat keunggulan media yang dipilih sebagai “wadahnya”. Namun bukan berarti kutub kelemahan tidak dipertimbangkan. Radio misalnya, media ini dipandang hanya sebagai “media sambilan”, yakni media yang tidak menuntut tingkat keseriusan tinggi dari pendengarnya pada saat menerima pesan-pesannya. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi, pandangan yang menyebut bahwa radio adalah media sambilan lebih merupakan Weakness Factor dari media radio (yang kita bicarakan adalah radio siaran).

Mendengar radio bisa sambil ngobrol dengan seorang sahabat. Tetapi coba tatkala membaca Koran, apakah kita bisa mengerti isi ulasan tajuk rencana, manakala seorang sahabat kita terus mengajak kita berbincang. Kalaupun mengerti, pemahaman kita pasti akan terbias karena situasi yang tidak menopang, ini hanya sekedar contoh. Dari salah satu kelemahan radio inilah --dimana tingkat keseriusan pendengar tidak sepenuhnya bisa dikondisikan dengan isi pesan—maka pendengar radio sebenarnya memerlukan kadar stimuli yang lebih tinggi agar bisa dilibatkan dalam proses komunikasi bermedia itu.

Azas format-driven yang dimiliki radio, dimana khalayak pendengar cenderung loyal terhadap sebuah stasiun radio --jika format siaran radio dirasakan sesuai / cocok--merupakan kutub keunggulan yang dimiliki media radio. Yang ada tinggal bagaimana membubuhi kadar stimuli yang lebih tinggi pada setiap jenis pesan yang akan disalurkan malalui radio. Termasuk pula pesan-pesan promosi iklan.

Bagaimana pula halnya dengan media TV? Media ini menganut azas programme-driven, dimana audience-nya cenderung bergerak dari program acara satu ke program acara lainnya. Atau dari stasiun TV satu ke stasiun TV lainnya. Sewaktu TV swasta baru mengudara, masyarakat pemirsa pasti penasaran ingin menyaksikan seperti apa sih iklan TV swasta? Karena sifat manusia yang menginginkan hal yang serba baru (novelty) itulah, yang juga menyebabkan mereka bosan dengan siaran iklan. Sekarang atau suatu saat nanti.

Azas programme-driven yang dimiliki TV, jelas merupakan sisi kelemahan. Kalau dihubungkan dengan masalah strategi beriklan di media TV, kadar stimuli yang integral di dalam iklan seyogyanya didongkrak terus-menerus.

“Tidak kenal maka tak sayang”. Dalam hal strategi promosi sebuah produk, ungkapan klasik ini bisa dinilai sebagai basic dalam menjual. Banyak usaha promosi produk kandas karena calon konsumen kurang mengenal produk yang ditawarkan. Di sini produk menuntut diberikan semacam identitas, entah dari merek kualitasnya atau kekhasan iklan produk tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh dalam melahirkan iklan yang “lain dari pada yang lain” adalah dengan menciptakan lagu atau memberi ilustrasi musik (instrumental) pada pesan-pesan iklan di media elektronik.

Pendapat Kasali diatas benar, bahwa kita acapkali mendendangkan syair lagu iklan. Tetapi apa kata David Ogilvy dalam bukunya Confessions of an Advertising Man (10th; 1985) mengenai lagu yang terdapat didalam iklan. Katanya, janganlah menyanyikan pesan iklan, karena menjual (maksudnya memasarkan produk melalui kiat beriklan) adalah aktivitas bisnis yang serius. Lebih lanjut Ogilvy mengatakan, “The purpose of an commercial is not to entertaint the viewer, but to sell him”. Disini Ogilvy menekankan pada iklan dimedia TV. Dan coba simak apa yang ditulis Courtland L. Bovee dan William F. Arens dalam buku mereka Contemporary Advertising (1986), dimana mereka menyebutkan bahwa tidak memiliki hasil riset yang mendukung untuk mengatakan, bahwa jingle di dalam iklan lebih lemah dalam mempersuasi pendengar dibandingkan perbincangan.

Dari argumentasi yang dimunculkan diatas terlihat adanya kontradiksi mengenai lagu (juga musik tentunya) di dalam iklan. Kasali lebih mempertimbangkan bahwa lirik lagu plus musik yang mengiringi iklan jika digarap sesederhana mungkin, tanpa kehilangan sisi estetikanya, akan mudah didendangkan orang. Secara implisit produk telah memiliki identitas, bila lirik dan musik yang ada memang diciptakan khusus untuk produk yang bersangkutan.

Ogilvy juga benar dengan pernyataannya bahwa beriklan adalah aktivitas bisnis yang serius. Bovee dan Arens agaknya memiliki argumentasi yang mampu menengahi dua sisi perbedaan pendapat itu. Dari pemahaman mendasar kita terhadap karakteristik media elektronik, dimana sifat auditif merupakan kutub keunggulan yang ditakdirkan kepadanya, dapatlah disimpulkan, bahwa musik dan lagu sebaiknya diintegrasikan ke dalam iklan media elektronik.

Musik dan lagu yang dibuat secara khusus untuk suatu produk, selain akan mampu meningkatkan kadar stimulus yang nantinya diharapkan sigap dalam menstimuli calon konsumen, disadari atau tidak telah menjadi identitas suatu produk. Namun yang sering menjadi kendala adalah bagaimana menciptakan musik dan lagu yang sinkron image produk.

Solusinya mungkin bisa diterima saran Ogilvy, bahwa periklanan mesti dilakoni seserius dan semaksimal mungkin. Termasuk pula dalam hal keseriusan menciptakan musik dan lagu di dalam iklan. Bukan lagu yang asal bunyi, tentunya. “…kuingin dunia tahu…”.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 15 November 1992