Rabu, 15 Oktober 2008

ANTAGONISME IKLAN DAN PELECEHAN BUDAYA

Oleh Deddy H. Pakpahan

Antropolog Edward Burnett Taylor pernah mengemukakan sebuah definisi mengenai kebudayaan. Dalam perspektif antropolog ini, kebudayaan dijabarkannya sebagai “…keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat dan setiap kemampuan serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Kebudayaan (culture) memiliki tiga wujud, yakni (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia di dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Di Indonesia kita mengenal tiga pengkategorian kebudayaan, yakni Kebudayaan Nasional Indonesia (KNI), kebudayaan daerah dan kebudayaan pop. Sesuai dengan namanya, ruang lingkup KNI berskala nasional dan cenderung lebih bersifat politis. Mengapa? Karena tujuan melestarikan dan mengembangkan KNI tidak lain adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia, Pancasila atau UUD 1945 merupakan contoh konkret KNI.

Lantas kebudayaan daerah. Kebudayaan yang kerap dilegitimasi sebagai “kebudayaan adiluhung” (high culture) ini adalah kebudayaan yang mewakili suatu daerah tertentu dan berlaku lokal. Karena kebudayaan daerah selalu menonjolkan kekhasan atau keunikan unsur budaya daerah yang mewakilinya, maka kebudayaan memiliki sifat sosial budaya kedaerahan. Contoh kebudayaan daerah, misalnya bahasa Jawa, Batak, Bali, Manado, dll. Atau musik-musik tradisional yang integral dalam kesenian-kesenian daerah / tradisional, serta banyak lagi contoh lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan pop (bermula dari kata “populer”) adalah kebudayaan yang memiliki sifat komersial-konsumtif. Gaya hidup yang mudah terbius oleh produk-produk baru nan mutakhir, adalah salah satu contoh transparan dari kebudayaan pop.

Dalam kajian bagian ini, perlu kiranya mengambil relevansi mengenai batasan kebudayaan pop yang diberikan S.M. Dharmanto sebagai berikut: “kebudayaan pop adalah subkultur kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada komersialisasi suatu produk budaya, biasanya berupa sejenis barang konsumtif yang diproduksi secara massa dengan perangkat produksi modern, dan berupa menggaet konsumen sebanyak-banyaknya”. (dalam buku Masalah Pengembangan Kebudayaan Nasional, 1990: h.60-70).

“The Culture of Advertising”

Bersandar pada ragam definisi mengenai kebudayaan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri bahwa periklanan dan segala aspek yang menyelimutinya adalah juga salah satu wujud kebudayaan. Bahkan jauh-jauh hari sebelum periklanan dibicarakan banyak orang, Nuradi yang dikenal sebagai “Bapak” periklanan Indonesia modern sudah mengapungkan istilah “The Culture of Advertising” atau “kebudayaan iklan”. Dalam sebuah tulisannya, Nuradi memandang bahwa kebudayaan iklan merupakan suatu gejala yang timbul karena kemajuan ekonomi masyarakat (majalah Prisma, Juni 1977).

Dalam periklanan kita mengenal beberapa jenis iklan. Astrid S. Susanto (1989) mengelompokkannya menjadi dua, yakni iklan yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu lembaga (corporate advertising) dan iklan yang memperkenalkan suatu produk, baik berupa barang atau jasa (generic advertising). Dari pemahaman kita mengenai diferensiasi keduanya, maka jelas bahwa iklan yang bertujuan memperkenalkan suatu produk (tentu agar diketahui masyarakat dan setelah itu masyarakat diharapkan mau mengkonsumsinya) “menginduk” pada kebudayaan pop. Sebabnya, iklan-iklan produk digarap dan setelah itu disebarkan dengan tujuan yang sifatnya komersial dan berorientasi pada kalkulasi bisnis.

Menilik perkembangan iklan-iklan produk, dengan melihat tampilan-tampilannya di media massa (cetak maupun elektronik), tampak bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah sudah “dilirik” oleh pihak pengiklan. Namun bukan berarti unsur-unsur kebudayaan pop tidak terwakili di dalam tampilan-tampilan iklan produk. Jelasnya, unsur-unsur kebudayaan daerah sudah mulai dijadikan materi atau bahan meramu sebuah iklan produk.

Khusus menunjuk pada iklan-iklan produk, upaya mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaaan daerah yang merupakan kebudayaan adiluhung, lebih terkesan sebagai usaha eksploitasi --yang jika tidak dilandasi kesadaran menjunjung nilai-nilai kebudayaan daerah-- pada akhirnya bisa dianggap sebagai usaha melecehkan!.

Antagonisme Iklan

Tidak sedikit kita menjumpai tampilan beragam iklan produk yang menyertakan unsur-unsur kebudayaan daerah di dalamnya. Lihat saja misalnya, iklan Supertin di layar TV (swasta) yang materi iklannya berisi dialog dua tokoh punakawan dalam dunia wayang golek. Si cepot bilang, Raden Gatotkaca “loyo”. Makanya ia dianjurkan minum Supertin sebelum bertemu Purgiwa, kekasihnya. Dialog ini jelas keluar dari pakem pewayangan, dimana Gatotkaca adalah tokoh yang identik dengan heroisme.

Tidak sebatas itu, ada pula merek produk yang mendompleng ketenaran suku Asmat. Untuk mempromosikan produk kosmetik terbarunya, Sari Ayu menampilkan iklan tercetak dengan judul “Riwayat Asmat”. Judul ini dipilih mengingat produk-produk anyar yang ditawarkan memang “berbau” Asmat, yakni Asmat Brazza dan Asmat Agats.

Koleksi terbaru Sari Ayu yang untuk mempercantik bulu mata, pipi, bibir, dan memperlentik kuku jemari kaum wanita ini hadir dengan aneka warna pilihan. Ada coklat, hitam, merah, biru, hijau, ungu, dll. Persoalannya sekarang adalah, mengapa iklan itu harus diberi judul “Riwayat Asmat”?.

Bila kita menelusuri budaya Asmat dari beberapa referensi, misalnya dalam buku Asmat: Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya (1984) karya Dea Sudarman, orang atau lebih tepat disebut penduduk suku Asmat hanya mengenal tiga warna dalam kehidupannya sehari-hari, yakni warna merah, putih, dan hitam. Bisa jadi, orang Asmat yang sering menyebut diri mereka sebagai “Asmat-ow” (manusia sejati) atau “As-Asmat” (manusia pohon) merasa aneh dengan variasi warna dalam iklan kosmetik tersebut, meskipun di belakang sang model iklan berdiri lima pria berpakaian adat suku Asmat. Disinilah mulai muncul antagonisme iklan, yaitu sebuah pertentangan antara hal yang faktual dengan hal yang komersial sifatnya.

Itulah fakta yang sesungguhnya terjadi dalam praktek periklanan kita, dimana unsur-unsur kebudayaan adiluhung sudah dipandang bernilai potensial untuk digarap menjadi materi iklan-iklan produk. Karena iklan produk bersifat komersial, sedangkan kebudayaan daerah memiliki nilai-nilai luhur yang seyogyanya terbebas dari pemikiran business oriented, maka keterlibatan unsur-unsur kebudayaan daerah di dalam penggarapan iklan produk telah memunculkan antagonisme.

Di satu sisi, pengiklan dan para kreatif periklanan bermaksud menjual produk dengan daya tarik unsur-unsur kebudayaan daerah. Tetapi disisi lain, kebudayaan daerah dengan sejumlah komunitas manusia pendukungnya mengharapkan eksistensi nilai-nilai luhur dalam kebudayaan tersebut bersih dari “polusi” dan distorsi nilai. Dalam hal ini, materi iklan produk yang mengeksploitisir unsur-unsur kebudayaan daerah telah melahirkan pertentangan antara dua kepentingan, yakni komersial dan moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai luhur dari setiap unsur kebudayaan daerah.

Sampai rentang waktu sekarang ini, persoalan mengeksploitisir nilai-nilai kebudayaan di dalam tampilan iklan-iklan produk (terutama yang punya indikasi melecehkan), dampak negatifnya memang belum menyengat. Tetapi jika dibiarkan terus berlanjut, wajah kita sebagai sebuah bangsa dimasa mendatang diramalkan akan menjadi muram. Mengapa bisa begitu? Karena ragam budaya daerah yang semula ingin dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan, akan mengalami pergeseran nilai sekaligus sifatnya yang menjadi komersial.

Pelecehan Budaya

Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi, “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”, merupakan cermin bahwa pemerintah memberi jaminan penuh terhadap usaha pengembangan kebudayaan ditanah air. Yang menjadi pertanyaan, apakah itu semata hanya tugas pemerintah? Tentu saja tidak. Dalam konteks ini, masyarakat periklanan pun dituntut untuk menjaga keutuhan dan kemurnian nilai-nilai kebudayaan daerah. Ini pula yang bisa dibaca sebagai sinyal bahwa masyarakat periklanan juga memiliki tanggung jawab sosial.

Dari pemahaman di atas, jika sebuah iklan digarap sebatas sebagai kiat vital dalam usaha mengeruk keuntungan, sebaiknya tampilan iklan tidak perlu “mencari muka” dengan menyisipkan unsur-unsur kebudayaan daerah sambil bertameng ikut melestarikan budaya bangsa. Sekali lagi, jangan “mencari muka”!.

Pihak produsen maupun kalangan yang terlibat langsung dalam pembuatan iklan pasti ada yang berteriak dengan nada apologisnya, bahwa tindakan mereka --menyatukan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan daerah dalam iklan komersial-- adalah karena tuntutan kreatifitas. Para kreatif di bidang periklanan yang lebih senang disebut “seniman” jelas tidak mau kreatifitasnya terbungkam.

Tentang tuntutan kreatifitas, tidak satu pun yang mau terbungkam atau dibungkam. Tetapi alangkah baiknya jika kreatifitas yang meluap-luap itu (hasilnya) relevan dengan produk yang akan ditawarkan. Seperti iklan perusahaan jasa penerbangan Singapore Airlines, yang salah satu iklannya menampilkan Tari Kecak, sebuah tarian dari Bali. Walau iklan ini punya tujuan bisnis, yakni menjual jasa angkutan, namun tidak bisa kita menunjuk bahwa iklan Singapore Airlines merusak nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat Bali. Dan lagi, maskapai penerbangan asing itu memang melayani jalur penerbangan dari dan ke Denpasar, Bali. Disini jasa yang ditawarkan relevan dengan materi iklan.

Coba bandingkan dengan iklan Sari Ayu. Apakah gambar motif burung pada wajah kelima pria berpakaian adat suku Asmat, dipoles dengan kosmetik produk Sari Ayu? Kalau benar begitu, “kemayu” sekali mereka.

Perlu dipahami, menyertakan berbagai unsur kebudayaan daerah di dalam iklan-iklan produk untuk kepentingan komersial semata --tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang melekat di dalamnya atau mengesampingkan usaha komunitas masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut-- sama saja dengan melecehkannya.

Dampak negatifnya sudah dikemukakan di atas. Satu hal yang amat diharapkan untuk mengantisipasinya adalah, dengan mempertebal kesadaran dari para produsen serta para kreatif periklanan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional atau budaya masing-masing suku bangsa. Mereka harus bisa memilah-milah, antara kepentingan komersial dan kepentingan moral serta tanggung jawab sosial terhadap eksistensi budaya bangsa. Akhirnya, kreatifitas penggarapan iklan-iklan produk memang tidak harus memberangus nilai-nilai adiluhung kebudayaan daerah atau bahkan melecehkannya. Sebab, kebudayan daerah juga merupakan kebudayaan nasional yang harus dijunjung oleh setiap orang, tanpa terkecuali!.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 13 Desember 1992

Tidak ada komentar: