Rabu, 15 Oktober 2008

EFEKTIVITAS IKLAN DI BIOSKOP BELUM DIPERHITUNGKAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Sewaktu film Dying Young yang dibintangi aktris jelita Julia Roberts dan si tampan Campbell Scout belum lagi di mulai, dalam sebuah bioskop Twenty-one, tampak di layar lebar iklan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Film iklan, yang entah menghabiskan berapa rupiah untuk penggarapannya dan tarif penayangannya itu tampil cukup lama, sekitar 5 menit. Secara lengkap penonton bioskop disodorkan segala fasilitas yang terdapat di TIJA.

Visualisasi bergerak iklan ini dimulai saat kawasan Ancol (di Jakarta Utara) masih berwujud rawa-rawa. Kemudian setting berubah dengan penonjolan panorama Ancol yang kini tampak asri. Tak ketinggalan, kolam renang, pasar seni, Dunia Fantasi (Dufan) atau Putri Duyung Cottages yang menjanjikan kenyamanan beristirahat ditampilkan dalam iklan tersebut.

Iklan Bioskop

Sampai sekarang, di Indonesia, iklan di gedung bioskop memang belum masuk hitungan atau belum diperhitungkan keunggulannya dalam menarik perhatian masa. Anggaran Belanja iklan dari tahun ke tahun selalu dikuasai oleh media TV. Peroleh belanja iklan di media bioskop bisa dilihat pada table.

TABEL BELANJA IKLAN DI BIOSKOP 1987-1994
(dalam miliaran rupiah)
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994
5 6 7 8 9 10 10 11

Sumber: Media Scene Indonesia.
*) angka proyeksi Tim Media Scene

Dari kenaikan rata-rata hanya Rp 1 miliar setiap tahunnya, bioskop (dalam hal perolehan iklan) memang masih ‘merana’ dibandingkan media lainnya. Namun kenyataan seperti ini agaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebut saja misalnya di Negara jiran Malaysia. Tahun 1990 media bioskop hanya kebagian 1,1 juta US dolar dari total belanja iklan yang pada waktu itu mencapai 303,4 juta US dolar. Atau bioskop-bioskop di Singapura, dimana pada tahun yang sama memperoleh 2,1 juta US dolar, padahal belanja iklan di negeri singa ini mencapai 333.5 juta US dolar. Sedangkan media yang kuat menyedot iklan, baik di Malaysia maupun Singapura adalah televisi dan surat kabar. Serupa dengan yang terjadi di Indonesia.

Kecilnya kue iklan yang diterima media bioskop, minimal disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama: pihak pemasang iklan merasa bahwa bioskop tidak efektif dijadikan medium penayangan iklan. Kedua: karena pertimbangan dana, sebab membuat film iklan untuk bioskop biayanya relatif lebih mahal dibandingkan menggarap film iklan untuk TV.

Seperti halnya proses penyampaian pesan dalam komunikasi, proses penyampaian pesan-pesan iklan pun tidak selamanya berjalan mulus. Ada faktor-faktor penghambat yang mengiringi proses tersebut. Merujuk pada kasus iklan bioskop, terlebih dahulu kita harus memahami situasi seperti apa yang terjadi di saat banyak orang berkumpul di dalam ruangan gedung bioskop.

Calon penonton yang antri membeli karcis sudah ditawari nomor-nomor kursi (Seat Number). Setelah suara merdu dari perangkat pengeras suara memanggil, mereka pun berduyun-duyun memasuki ruang pertunjukan. Nah, disinilah faktor-faktor yang mampu menghambat proses penyampaian pesan iklan mulai tampak.

Sesuai dengan perjanjian antara pengiklan dan pengelola bioskop, film iklan diputar sebelum pertunjukan dimulai. Satu per satu iklan bermunculan di layar bioskop. Disaat itu pula, satu per satu penonton mulai sibuk mencari tempat duduk yang sesuai dengan sobekan karcis ditangannya.

Ketika mereka mencari tempat duduk, otomatis atensi mereka tidak tertancap pada layar bioskop yang tengah memajang iklan. Mereka yang sudah menemukan tempat duduknya pun kurang tertarik menatap iklan dilayar, karena beberapa penonton sibuk mondar-mandir (apalagi kalau bukan mencari tempat duduk). Alhasil, film iklan yang dibuat dengan Cost tinggi tak lebih sekedar ‘pengiring’ para penonton yang sibuk mencari tempat duduk. Apa yang diharapkan pihak pengiklan dan penggarap iklan jelas tidak terpenuhi.

Bioskop dan TV walaupun sama-sama bersifat audio visual, namun memiliki perbedaan dalam hal menggelar iklan. Di bioskop tidak bisa dengan seenaknya menyelipkan iklan di saat film sedang seru-serunya. Bisa-bisa penonton mengamuk. Tidak seperti saat kita menonton Hunter atau Renegade di TV. Ketika sang jagoan beraction tiba-tiba dipotong, dan iklan tanpa diundang menghadang.

Bila bioskop dipilih sebagai alternative media oleh para pengiklan, seharusnya pihak penggarap iklan bioskop mau memahami bahwa diruang bioskop banyak terjadi ‘kekacauan’, yang merupakan faktor-faktor penghambat (Noise Factors) tercapainya tujuan komunikasi promosi melalui iklan. Mencari tempat duduk atau sibuk dengan Popcorn di tangan, adalah contoh kecil dari ‘kekacauan’ tersebut. Hal ini mengakibatkan sulitnya menghimpun atensi penonton terhadap iklan yang sedang diputar.

Belum Optimal Digarap

Namun kalau disuruh menilai secara jujur, sebenarnya iklan-iklan di bioskop belum digarap secara optimal. Bioskop yang dilengkapi dengan sistem teknologi audiovisual yang canggih, sebenarnya merupakan wahana promosi yang bisa dan patut diperhitungkan. Seringkali kita jumpai iklan bioskop yang serupa benar dengan iklan di TV. Bukankah dalam periklanan ada prinsip yang mengatakan, bahwa menggarap iklan itu berbeda-beda, sesuai dengan jenis medianya.

Usaha-usaha ke arah kreatif dalam menggarap iklan bioskop tampaknya belum terlihat sungguh-sungguh dilakoni oleh para penggarap iklan. Sebenarnya banyak yang bisa dibuat, agar iklan bioskop mampu menarik perhatian penonton. Keunggulan bioskop, dimana menjanjikan kenyamanan menonton film (dengan fasilitas AC, teknologi audio stereo yang canggih, dan tempat duduk yang empuk) sebenarnya bisa dimanfaatkan secara lebih optimal lagi. Misaknya, sebelum iklan produk suatu muncul, terdengar suara yang menggema di dalam bioskop “Cepat cari tempat dudukmu atau kamu ketinggalan!” dan beberapa lagi kiat lainnya yang mampu menangkap atensi penonton. Itu yang belum dilakoni.

Harus diakui, untuk berkreatif menciptakan film iklan bioskop memang lebih sulit dibandingkan membuat iklan untuk media lainnya. Sebab masyarakat penonton belum bisa permisif melihat iklan ‘membuntutinya’ sampai ke bioskop. Mereka hanya ingin menonton Julia Roberts, Kevin Costner, Alpacino, dan aktris lainnya beraksi dengan skenario masing-masing, titik.

Terakhir, sejauh mata atau sampai kapan pihak pengiklan masih memberikan kepercayaan terhadap media bioskop, memang terpulang pada beragam kepentingan yang ada. Mereka sendiri yang tahu lebih banyak, efektif tidaknya memproduksi film iklan untuk di putar di bioskop.

Catatan : tulisan ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia, dengan judul serupa (29/3/1992) dan telah mengalami penambahan di beberapa bagian atas tuntutan aktualitasnya.

Tidak ada komentar: