Rabu, 15 Oktober 2008

IKLAN DESTRUKTIF RENDAHKAN PRODUK LAIN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Sebuah surat pembaca di harian kompas (21/3/93) mengajukan kritik terhadap tayangan sebuah iklan di layar TV. Kali ini yang menjadi tumpuan kritik adalah iklan deterjen Rinso. Sang penulis surat --setelah melihat iklan tersebut-- merasa ada sesuatu yang mengganjal. Selang dua hari kemudian, di harian yang sama, muncul surat senada yang berisi keberatan dengan iklan deterjen Rinso tersebut. Ada apa sebenarnya di balik peristiwa tersebut.

Iklan deterjen Rinso tersebut boleh dibilang sedikit ‘nakal’. Materi dari Visualisasi iklan ini mengandalkan teknik kesaksian (Testimony) konsumen. Maaf kata, seorang ‘WTS’ (Wartawan Tanpa Suratkabar) tampak sedang mewawancarai dua orang berstatus ibu rumah tangga yang kedapatan membeli Rinso di sebuah toko.
Wawancara ini kemungkinan besar telah direkayasa. Bisa pula tidak, seperti layaknya wartawan TV yang beraksi di lapangan. Singkat kata, ketika ditanya mengapa kedua ibu itu membeli Rinso, dengan lancar mereka nyerocos tentang keunggulan deterjen yang konon mampu “membersihkan paling bersih” itu.

Keunggulan Komparatif

Memaparkan keunggulan komparatif suatu produk --walau tidak terbukti kebenarannya seratus persen-- sudah menjadi prinsip purba dalam lingkup praktek periklanan. Memakai kiat testimonial pun tidak didakwa sebagai hal yang bertentangan dengan sisi etis beriklan. Keduanya sah-sah saja, asal --dan selama-- tidak merendahkan produk lain yang sejenis. Namun jujur saja, iklan Rinso yang satu ini memang berani tampil beda, walau bukan dalam arti yang positif.

Tidak bernilai positif? Memang. Karena kedua ibu yang diminta alasannya mengapa membeli Rinso, dengan seenak Udelnya merendahkan atau mendiskreditkan deterjen merek lain. Walau ketika menyebut deterjen lain Voice-nya diedit dengan teknik dibisukan (Mute), gerakan bibir mereka tampak jelas menyebut deterjen merek lain. Ini mudah dideteksi karena pada umumnya merek sabun cuci terdiri dari dua suku kata saja, seperti Rinso, Dino, So-klin atau Attack.

Jika memakai deterjen selain Rinso, masih kata kedua ibu tadi dengan nada mengeluh, boros bila digunakan dan harus ditebus dengan susah payah mengucek. Inti dari kampanye iklan ini adalah ingin mengentalkan motto produk dalam benak konsumen, bahwa Rinso membersihkan paling bersih.

Iklan Destruktif

Taktik merendahkan produk sejenis bisa disebut sebagai taktik destruktif (Destructive tactics) yang punya tujuan menghancurkan kompetitor. Cara ini tentu saja tidak fair, tidak sehat, dan cenderung dilegitimasi sebagai cara-cara pengecut ketika harus berkompetisi. Mungkin pihak penggarap iklan Rinso ini alpa, atau pura-pura lupa, bahwa tidak semua masyarakat terbiasa menggunakan Rinso.

Memang, sebuah produk belum tentu disukai oleh semua orang. Seperti pernah dikatakan Laurel Cutler, Vice Chairman dari sebuah biro iklan makmur di New York, bahwa tidak ada pasar untuk produk yang disukai semua orang. Yang da hanyalah produk yang disukai oleh seseorang.

Agaknya pendapat Cutler benar, karena dalam prinsip periklanan itu sendiri, walaupun pesan disampaikan secara masal (komunal) tapi aksi yang ditimbulkan adalah aksi perseorangan (individual). Dan bukankah tiap-tiap orang berbeda kesukaannya.

Taktik destruktif memang masih menggejala dipakai oleh para penggarap iklan di Indonesia. Pernah perusahaan rokok Bentoel walau implicit memakai taktik ini untuk sebuah iklannya dilayar TV. Iklan Bentoel benar-benar memukul merek rokok lain. Atau dibidang bisnis jasa perhotelan, kita pernah menyaksikan betapa hebatnya ‘perang iklan’, seperti yang dilakoni oleh Jakarta Hilton Convention Center dan Sahid Jaya Hotel & Tower.Suatu kali pihak pengelola Jakarta Hilton Convention Centre memasang iklannya dalam sebuah media cetak yang berbunyi begini: “Jika anda sudah pesan tempat untuk pesta pernikahan yang megah, batalkan! Wujudkan yang jauh labih megah di Jakarta Hilton Convention centre”. Tidak berhenti sampai disitu, iklan ini kembali mengusik dengan kalimat, “Terlanjur pesan tempat lain? Kami akan membantu menelpon untuk membatalkannya”. Berani sekali iklan ini. Sayang kita tidak berani untuk mengacungkan jempol.

Gayung pun bersambut. Tidak berapa setelah iklan Hilton disimak masa, pihak pengelola Sahid Jaya Hotel & Tower yang amat mengandalkan puri Agung-nya pun tak mau tinggal diam. Walau tidak begitu menggigit, namun iklan sahid sedikit cerdik. Naskah iklannya berbunyi begini: “Our competitor has offered to help you cancel your banquet booking with us! Shouldn’t you really be allowed to make your own mistakes!” Sebuah serangan balik yang lembut, namun cukup membuat kompetitornya berpikir panjang untuk mengulangi serangan.

Kompetisi memang selalu bermuara pada dua titik yakni kekalahan di satu pihak dan titik kemenangan di pihak yang lain. Menyingkap fenomena ini dalam konteks bisnis –ekonomis, maka padanan dari kekalahan adalah kerugian. Begitu pula sebaliknya, kemenangan selalu analog dengan mereguk keuntungan. Namun ironisnya, secara alamiah, tak satu pun diantara para pelaku bisnis yang mau kalah atau mereguk kerugian. Inilah yang menyebabkan persaingan bisnis selalu diwarnai dengan intrik-intrik yang ‘menggemaskan’.

Kembali pada kasus iklan Rinso, jelas bahwa pelaku bisnis dibalik itu tidak mau melihat grafik penjualannya melorot, satu milimeter pun. Demikian pula dengan produsen So-Klin, Dino, atau Attack. Masing-masing nerjuang agar deterjen yang diproduksinya dikonsumsi secara besar oleh konsumen. Singkatnya mereka semua berharap grafik-grafik penjualannya yang berbentuk batang akan semakin panjang.

Dari sini, bila keuntungan merupakan tujuan utama dalam bisnis, dan tidak mungkin dicari substitusinya (penggantinya), maka yang semestinya diciptakan adalah ‘iklim toleransi’ di antara para pelaku bisnis. Aplikasinya didalam periklanan bisa terlihat dengan adanya ‘toleransi antar produk sejenis’. Artinya, masing-masing produsen --dengan produk yang sejeni-- harus mau menghargai keberadaan merek-merek lain dipasaran.

Sebenarnya ini permasalahan yang sederhana saja, yakni bagaimana para produsen berkompetisi secara sehat dengan menanggalkan taktik beriklan yang ‘tak higienis’ itu.

Menerapkan taktik destruktif dalam tampilan iklan (secara visual, auditif, maupun audio-visual) jelas tidak dapat direstui. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) secara eksplisit memag sudah melarang, “…Iklan tidak boleh secara langsung atau tidak langsung merendahkan produk-produk lain”.

Di Indonesia, adalah lumrah jika sesuatu yang ideal menjadi belum membudaya atau memasyarakat. Seperti halnya membudayakan ‘ toleransi antar iklan produk sejenis’, baik dikalangan pengiklan maupun penggarap iklan.

Para pengiklan menginginkan produknya punya image yang superior di mata masyarakat. Penggarap iklan --yang seringkali berfungsi sebagai perpanjangan tangan para pemilik capita-- pun mengerjakan saja apa yang diinginkan si pemasang iklan. Dan terkadang, saking menggebu-gebu dalam berkreativitas, para penggarap lupa batasan-batasannya. Sehingga iklan hanya di ibaratkan sebagai kail tanpa umpan yang lezat.

Deskripsi faktual yang kurang menggembirakan ini tampak semakin Bopeng saja, lantaran masih lemahnya Bargaining position dari kalangan konsumen. Memang, masyarakat konsumen kita masih banyak yang mudah terpancing oleh iklan, walau umpannya dirasakan kurang lezat. Namun ada pula yang berpendapat bahwa iklan bukan faktor penentu yang mutlak mempengaruhi keputusan konsumen, mengkonsumsi atau tidak.

Boleh saja kita memilih pendapat mana yang lebih benar. Tetapi yang terpenting dari itu ada baiknya jika dikutip perkataan Prof. Dr. John S. Nimpoeno, pakar psikologi budaya dan industri dari Unpad, bahwa “Iklan yang tak punya etik dan moral akan mendungukan masyarakat”. Dengan persaingan yang semakin ‘panas’, tentunya para pengiklan dan penggarap iklan bisa memikirkan kembali pola persaingan yang selama ini berlangsung. Apakah memang sudah memenuhi standar etis dan moral yang digariskan, atau sebaliknya.


Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 11 April 1993

Tidak ada komentar: