Rabu, 15 Oktober 2008

KEWASPADAAN KONSUMEN & IKLAN OBAT



Oleh Deddy H. Pakpahan

Awal November 1991 Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) mengumumkan penarikan 285 merek obat dari pasaran. Kebijaksanaan ini merupakan kelanjutan dari dikeluarkannya SK Menkes RI No. 725 a Tahun 1989 yang mengharuskan perlu dinilainya kembali 288 merek obat yang telah beredar dipasaran (berarti ada tiga merek obat yang lolos dari penarikan). Menjadi pertanyaan, apakah benar seluruh obat-obatan yang termasuk dalam “daftar hitam” tersebut sudah tidak lagi kita temukan di kios-kios pinggir jalan, supermarket, atau apotek.

Berdasarkan liputan investigasi, ternyata beberapa nama merek obat yang seharusnya ditarik dari peredaran masih bisa diperoleh dibeberapa daerah (Kompas,2 Sept 92). Kenyataan ini sekaligus mencerminkan bahwa kedudukan konsumen sebagai pengguna produk (dalam hal ini adalah obat-obatan) belum bisa dikatakan Safety. Jika obat-obatan yang dilarang tersebut masih tetap bergentayangan, selama itu pula nasib konsumen terus terancam.

Terlepas dari ihwal penarikan sekian ratus merek obat diatas ternyata ada sebuah fenomena yang menarik untuk kita bicarakan, yakni mengenai iklan obat itu sendiri. Ini memang sebuah fenomena yang menarik, karena dalam masyarakat kita sudah mengenal apa yang disebut sebagai ‘sistem pengobatan sendiri’ atau dalam istilah asing disebut (Self Medication). BIla kita sakit kepala, di warung sebelah rumah bisa kita dapati beranekaragam obat sakit kepala yang masuk klasifikasi obat bebas (Out Of The Counter). Begitu pula kalau kita diserang sakit perut atau susah bernafas sekalipun. Bersamaan itu pula, iklan obat yang beragam jenisnya menyerbu, merayu, merayu sambil mengklaim nomor satu –bagai penjual obat dipinggiran pasar--. Maka jangan heran jika seseorang yang tengah sakit kepala bertambah pusing, mau menenggak yang mana.

Iklan Obat

Serupa dengan produsen lainnya, produsen obat-obatan juga mengandalkan iklan sebagai wahana promosi. Hampir di semua media yang kita simak (cetak maupun elektronik), media luar ruang (Outdoor) atau lazim juga disebut (Out Of Home Media), dan (Direct Mail Media) seperti brosur, leaflet, dsb, dimuati oleh iklan obat-obatan. Semuanya menyerbu konsumen, seakan ingin berlomba mengobati.

Kalau memang hujan iklan obat tengah lebat-lebatnya --berarti pula iklim persaingan antar perusahaan obat semakin sengit--maka yang perlu dipertanyakan adalah, apakah masyarakat sebagai konsumen obat-obatan sudah terlindungi dari dampak negatif persaingan tersebut. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat dalam persaingan antar perusahaan obat terdapat indikasi adanya iklan-iklan obat yang menyesatkan, atau minimal membuat bingung masyarakat konsumen. Untuk itu maka kita perlu menoleh kembali pada apa yang telah digariskan dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).

Sebagai ‘rambu-rambu’ yang mengatur arus ‘lalu lintas’ praktek periklanan di tanah air, TKTCPI memuat sepuluh aturan main yang mesti dipatuhi oleh produsen obat-obatan yang berkehendak mengiklankan produknya. Kesepuluh aturan main tersebut yakni:
1. Iklan harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui Departemen Kesehatan RI.
2. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata / ungkapan-unngkapan / penggambaran yang menjanjikan penyembuhan penyakit, tetapi hanya boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala penyakit.
3. Dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya, ahli farmasi serta atribut profesi masing-masing termasuk rumah sakit tidak boleh memberikan presentasi visual dan audial yang menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian advis, keterangan atau rekomendasi penggunaan obat tertentu.
4. Iklan harus memperhatikan keamanan dari penggunaan obat-obatan yang di iklankan, terutama terhadap anak-anak.
5. Iklan tidak boleh menganjurkan penggunaan obat secara berlebihan.
6. Iklan tidak boleh menganjurkan bahwa suatu obat merupakan syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh.
7. Iklan tidak boleh memanipulasi rasa takut (Induce Fear) seseorang terhadap penyakit, bila tidak mempergunakan obat yang di iklankan.
8. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti ‘aman’, ‘tidak berbahaya’, ‘tidak mengandung resiko’ dan sebagainya, tanpa keterangan yang lengkap.
9. Iklan tidak boleh menawarkan diagnosa. Pengobatan atau perawatan melalui surat-menyurat harus dihindarkan.
10. Dan, iklan tidak boleh menawarkan pengembalian uang dalam pengiklanan obat.

Mencermati satu per satu batasan yang ada, terlihat bahwa sebenarnya konsumen itu (sudah) terlindungi, bila semua produsen obat-obatan yang mengiklankan produknya tunduk pada TKTCPI. Namun pada kenyataannya, tampilan iklan-iklan obat belum bisa dibilang memuaskan, dalam arti tidak sesuai dengan TKTCPI. Singkat kata, masih kita temukan iklan-iklan obat yang melanggar rambu-rambu. Pelanggarannya pun tingkatnya beragam, dari yang masih bisa ditolerir sampai yang sudah melampaui batas-batas kewajaran.

Banyak sekali iklan obat batuk, sakit kepala atau influenza yang memproklamirkan dirinya sebagai obat paling mujarab. Sebuah iklan obat sakit kepala di media cetak tampil dengan slogan “Ekstra kuat sembuhkan sakit kepala”, atau obat influenza yang berkata “…Cepat sembuh” , dan masih banyak lagi contoh lainnya yang tidak sinkron dengan keinginan TKTCPI. Sebenarnya apa dasar yang dipergunakan untuk mengatakan bahwa obat ‘anu’ dsangat manjur? Bukankah suatu penyakit memiliki stadium atau tingkatan-tingkatan tersendiri, yang berarti suatu penyakit dengan stadium tertentu memerlukan obat dengan indikasi tertentu pula.

Gejala persaingan antar perusahaan pemroduksi obat, didalam iklan pun terlihat kurang sehat. Kompetisi mengobati penyakit dilakukan dengan Destructive Tactics, diman iklan obat yang satu secara eksplisit menyerang merek-merek obat lainnya dengan mengatakan lebih unggul, lebih kuat, dsb.

Masyarakat luas sebagai calon konsumen tentu akan dibuat bingung dengan persaingan (dalam iklan) seperti itu. Obat mana yang baik, aman, dan cocok untuk dirinya serta mampu mengatasi rasa sakit, mereka bingung. Pada titik inilah perlu adanya kesadaran dikalangan produsen / pengiklan obat-obatan untuk tidak membuat bingung masyarakat konsumen. Lagian, apasih untungnya membingungkan masyarakat, sedikitpun tak ada.

Perlu Waspada

Dapat ditarik kesimpulan bahwa posisi masyarakat di dalam praktek peiklanan agaknya masih belum diuntungkan. Padahal, masyarakat sebagai konsumen merupakan ‘Terminal Akhir’ yang akan menentukan dikonsumsi tidaknya suatu produk. Bila masyarakat menyadari posisi mereka seperti itu, maka satu-satunya jalan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin timbul adalah dengan sikap waspada. Kewaspadaan konsumen terhadap iklan-iklan obat perlu sekali diperkuat, karena banyak kasus kesalahan dalam penggunaan obat di masa lalu yang tentunya berakhir dengan kerugian di pihak konsumen.

Namun kewaspadaan konsumen saja tidaklah cukup bila otoritas kekuatan di sekitarnya tidak mendukung. Institusi media masa misalnya, sebagai wahana iklan kiranya perlu mengeliminir iklan-iklan tak etis. Menyaring dan mengedit ulang iklan-iklan yang akan disodorkan kepada publik, memang meupakan pilihan yang bijaksana. Terakhir, iklan-iklan obat yang terbukti menyesatkan konsumen memang tidak layak disebut mujarab, namun lebih pantas dilegitimasi sebagai hal yang ‘mudarat’.

Dimuat pada harian Bisnis Indonesia, 13 September 1992

Tidak ada komentar: