Rabu, 15 Oktober 2008

KONSUMEN MENGGUGAT IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Kolom-kolom “surat pembaca” di banyak media cetak, belakangan ini gencar memuat reaksi masyarakat atau konsumen yang merasa keberatan terhadap tampilan iklan tertentu (secara tercetak maupun via media elektronik). Gelombang complaint yang dialirkan oleh masyarakat itu, bisa dijadikan sebuah indikator sederhana untuk menguji sebuah hipotesis: bahwa pada prakteknya tidak semua iklan bisa diterima atau berkenan di hati masyarakat.

Masyarakat sebagai audience media massa, memiliki semacam hak untuk mengajukan keberatannya terhadap tampilan sebuah iklan. Sebab selain sebagai audience, masyarakat adalah sasaran utama yang dituju (target market) dari sejumlah produk --berupa barang atau jasa-- yang ditawarkan melalui media massa. Untuk itulah mereka berhak memberi penilaian, yang merupakan proses selektivitasnya terhadap terpaan iklan.

Sebuah surat pembaca yang dimuat pada harian Pikiran Rakyat, malah berisi protes. Si pembuat surat menginginkan agar iklan sebuah pasta gigi --sebut saja mereknya “XYZ”-- tidak ditayangkan lagi di layar TV (swasta). Si penulis surat merasa tersinggung dengan materi iklan “XYZ”. Materi iklan itu berusaha memilah-milah status sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat, dan berusaha merendahkan status sosial-ekonomi sekelompok manusia. Ia juga memastikan, bukan hanya dirinya yang tersinggung, tetapi sebagian besar masyarakat yang sudah menyaksikannya.

Amat fantastis, namun sayang tidak menjurus pada sesuatu yang konstruktif. Begitulah kira-kira penilaian kita, kalau memang benar iklan “XYZ” menyinggung perasaan sebagian besar pemirsa TV. Mengapa disebut fantastis? Tidak lain karena film iklan yang ditayangkan dengan durasi singkat --sekian detik-- ternyata mampu merubah riak-riak kecil yang sebelumnya ada menjadi gelombang protes. Lantas tidak konstruktif, lantaran secara etis iklan yang demikian kurang dapat dipertanggung-jawabkan eksistensinya, dimana iklan tersebut telah menyinggung perasaan sekelompok masyarakat (yang berstatus sosial ekonomi kurang mapan).

Beragam Respon

Sekitar tiga dekade yang lalu, Otto Klepper pernah membuat sesuatu penekanan yang mengatakan, bahwa pengertian iklan pada tiap-tiap individu atau golongan di dalam masyarakat adalah berbeda-beda. Ia mengambil ilustrasi pada kehidupan keluarga di Amerika Serikat. Katanya, untuk ukuran seorang ibu rumah tangga. Iklan dipandang sebagai sebuah ‘alat’ yang diharapkan mampu memberikan informasi tentang dimana ia beserta anggota keluarga lainnya bisa menghabiskan week-end dengan suka cita.

Bagi sang ayah (suami), iklan diharapkan mampu menunjang aktivitas bisnis atau pekerjaannya di kantor. Sedangkan bagi anak-anak, iklan mengundang mereka untuk berfantasi tentang enaknya coklat dan nikmatnya kembang gula.

Dengan perumpamaan yang sederhana ini agaknya Klepper berhasrat menggarisbawahi, bahwa pada prinsipnya setiap orang --satu dengan lainnya-- berbeda dalam hal mempersepsi dan menginterprestasikan sebuah iklan.

Bila pada kenyataannya terdapat diferensiasi dalam hal menilai tampilan sebuah iklan, maka tidaklah mengherankan jika sejumlah respons yang muncul ke permukaan pun berbeda-beda. Pada kasus iklan “XYZ”, sudah pasti ada anggota masyarakat yang suka dan ada pula yang tidak suka. Ada yang merasa tersinggung dan mungkin malah ada yang merasa melambung hatinya. Fenomena hadirnya beragam respons ini merupakan konsekuensi yang wajar ketika masyarakat telah direkayasa untuk berjumpa dengan tampilan-tampilan iklan.

Heterogen dan Piramida

Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam masyarakat Indonesia yang punya kharakteristik heterogen ini terdapat pula perbedaan status sosial-ekonomi. Perbedaan ini alamiah, dan tak satu pun dari kita yang bisa menolaknya.

Secara kuantitatif, status atau tingkat sosial-ekonomi di dalam masyarakat dapat divisualisasikan dalam bentuk piramida tidak terbalik. Mereka yang berstatus sosial-ekonomi mapan atau serba kecukupan berada di bagian paling atas. Anggota masyarakat yang terbilang golongan menengah berada setingkat di bawahnya. Disusul dibagian terbawah, yakni mereka yang memiliki status sosial-ekonomi rendah. Mencermati isi ketiga bagian dari piramida tersebut secara think in pictures, maka akan tampak jelas bahwa ruang yang paling bawah --yang berisi masyarakat berstatus sosial-ekonomi rendah-- secara kuantitatif jumlahnya lebih besar dibandingkan kedua ruang yang berada di atasnya. Potret piramida yang demikian ini serupa dengan realita masyarakat Indonesia, dimana golongan berstatus sosial-ekonomi rendah jumlahnya amat besar.

Dari perbedaan status maka muncul perbedaan tingkat kebutuhan. Golongan masyarakat yang punya status sosial-ekonomi tinggi, mempunayi tingakat kebutuhan yang tinggi pula. Begitu pula dengan mereka yang dating dari golongan berstatus social-ekonomi menengah dan rendah. Nah, tiap-tiap individu dengan aneka ragam status tadi, mmemiliki otoritas untuk memilah-milah atau mengadakan seleksi, mana kebutuhan yang primer dan mana yang sekunder menurutnya.

Sebuah mobil sedan mewah produk terbaru, mungkin dianggap sebagai kebutuhan primer yang “wajib” dikonsumsi oleh para bankir atau eksekutif muda yang sedang menanjak kariernya. Status sosial-ekonomi mereka memang menuntut begitu.

Berbeda dengan anggota masyarakat yang tergolong kelas “papan bawah”. Bagi mereka, sedan mewah boleh jadi hanya sebuah impian yang mengawang-awang di siang bolong. Kebutuhan primer bagi golongan berstatus sosial-ekonomi rendah bukanlah sebuah sedan mewah (atau yang tak mewah sekalipun), tetapi makan sehari-hari, membeli pakaian anaknya, atau bahkan memikirkan bagaimana membayar cicilan rumah tipe sangat sederhana yang dimilikinya. Sangat kontras memang, tetapi itulah realita sosial yang mesti diamini.

Pesan Iklan

Setelah berpanjang-panjang dengan penjabaran mengenai potret realita sosial masyarakat (Indonesia), ada baiknya dalam memahami gugatan masyarakat terhadap tampilan iklan kita juga beranjak dari realita yang sebenarnya, seperti telah diuraikan tadi.

Salah satu kiat penyampaian iklan yang kini kerap dipakai oleh banyak perusahaan dan biro periklanan adalah teknik dengan “iming-iming” untuk meningkatkan status sosial konsumennya. Bila seseorang memakai sabun merek “A”, misalnya, status sosialnya akan sejajar dengan sederetan nama bintang film popular. Jika seorang pria mengenakan kemeja merek “B”, misalnya, --alhasil tampilannya akan terlihat trendy-- dan akan dilegitimasi mampu meningkatkan citra dirinya. Masih banyak contoh lainnya.

Kiat yang menyertakan “iming-iming” ini tidak selamanya akan dinilai buruk, jika ternyata kualitas dari produk yang semula diiklankan terbukti sanggup memuaskan hati konsumen. Namun sebaliknya, teknik tersebut tidak akan pernah menjadi senjata yang ampuh untuk “memperlaris” produk, bila pesan iklan tersaji dari hasil manipulasi yang menipu, tanpa memperhatikan nilai-nilai etis, misalnya sampai menyinggung perasaan sebagian konsumen. Sungguh ini adalah sesuatu yang di luar pagar-pagar etis.

Konsumen Menggugat

Bila sebuah pesan iklan mampu membuat sekelompok atau sebagian naggota masyarakat tersinggung dan mereka merasa dirugikan, maka gugatan pun mengalir. Dan lazimnya, segala bentuk gugatan, rasa keberatan, atau apapun namanya, selalu dialamatkan ke media massa(terutama cetak) dalam wujud “Surat Pembaca”. Ini adalah hubungan sebab akibat yang logis.

Pesan iklan sebagai faktor kuat yang mempengaruhi “komunikasi promosi”, seharusnnya dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan dampaknya bagi khalayak.

Pada tahap pentransformasian ide-ide kreatif menjadi sosok iklan yang sesungguhnya, satu hal yang penting dijadikan dasar pemikiran bagi para creative disigner iklan adalah pentingnya memandang potret realita sosial secara utuh, tidak setengah-setengah.

Dari adanya tampilan iklan, seperti halnya contoh iklan “XYZ” tadi, perlu kiranya diberi garis tebal disini, bahwa kecemburuan social tampaknya memang tak perlu ditiupkan lagi. Iklan-iklan yang dengan sengaja masih berpenampilan demikian., lambat laun tentu akan ditinggalkan oleh konsumen, yang sebelumnya menggugat iklan tersebut. Kalau sudah begitu, lantas siapa yang merugi…?

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 26 April 1992

Tidak ada komentar: