Rabu, 15 Oktober 2008

MEMAHAMI POSISI SULIT IKLAN ROKOK

Oleh Deddy H. Pakpahan

Salah satu kiat menuju pola hidup sehat yang gencar dikumandangkan adalah dengan berhenti (atau tidak memulai) merokok. Melalui media massa atau buku-buku ilmu kesehatan, kita semua sudah cukup paham bahwa kebiasaan merokok amat berbahaya dan merugikan kesehatan. Bahwa ada sebuah hasil penelitian yang membeberkan, betapa kebiasaan merokok dapat mengurangi umur manusia. Namun semua itu tidak membuat gentar para pecandu rokok untuk tetap memasukan racun nikotin kedalam tubuhnya, sebatang demi sebatang.

Peringatan mengenai bahaya merokok serta kampanye anti rokok seringkali ditampilkan dalam wujud iklan layanan masyarakat (public service ads). Kegiatan yang berisi peringatan ini --atau dalam ilmu komunikasi disebut “admonition”-- biasa diprakarsai oleh organisasi-organisasi nirlaba alias non-profit, yang bekerjasama dengan pihak pengelola media massa. Kini, pemerintah pun telah sudi membubuhkan peringatan (warning) akan bahaya merokok di tiap kemasan pembungkus rokok yang berbunyi: “Merokok Dapat Merugikan Kesehatan”. Peringatan ini memang cukup halus, lantaran tidak ada tanda seru di akhir kalimat. Tidak seperti peringatan “Awas Listrik!”

Kedengarannya memang klise, namun itu sudah cukup menunjukan tingkat kepedulian dan keprihatian tersendiri. Tetapi apakah setiap himbauan untuk tidak merokok telah berhasil? Artinya, para pecandu rokok telah meninggalkan kebiasaan merokok secara berangsur-angsur serta berkurangnya jumlah perokok pemula. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah iklan himbauan untuk tidak merokok “dipatuhi” masyarakat.

Iklan Rokok

Pada bagian ini, kebiasaan merokok seta iklan layanan masyarakat bertema “stop merokok”, bukan yang ingin dicermati, melainkan iklan rokok itu sendiri. Di tengah gencarnya program-program kesehatan, iklan rokok tanpa bisa dibendung mengepung masyarakat --sekaligus membujuk-- untuk merokok.

Dibandingkan dengan iklan produk lainnya, iklan rokok boleh dibilang yang paling “malang”. Bagaimana tidak? Iklan rokok selalu mendapat “tekanan”. Tekanan yang dimaksud disini adalah segala bentuk himbauan, kampanye, atau bahkan larangan merokok. Walau tidak secara langsung menyebut merek-merek rokok --hal ini bisa diartikan bahwa semua merek rokok tidak patut dikonsumsi, karena alasan kesehatan-- namun harus kita akui bahwa ragam jenis himbauan tadi telah menjelma sebagai “lawan” bagi iklan-iklan rokok.

Di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) pun terdapat empat butir batasan yang memagari ruang gerak iklan rokok. Pertama, iklan rokok tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok. Kedua, iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah sehat atau terbebas dari gangguan kesehatan. Ketiga, iklan tidak boeh ditujukan terhadap anak di bawah usia 16 tahun dan atau wanita hamil. Keempat, menampilkan mereka di bawah usia 16 tahun di dalam iklan (rokok).

Batasan yang sudah diberikan TKTCPI, bisa kita sorot dari dua dimensi kepentingan, yakni kepentingan masyarakat luas dan kepentingan pihak produsen rokok (yang memasang iklan). Aturan main dalam TKTCPI secara jelas ingin melindungi masyarakat luas dari terpaan (negatif) iklan-iklan rokok. Secara logika, tujuannya tentu positif sekali. Tetapi bagaimana pula dengan nasib produsen rokok itu sendiri.

Kepentingan atau tujuan-tujuan komersial produsen rokok jelas terancam. Bayangkan, iklan produk (generic ads.) lainnya boleh sesuka hati tampil membujuk calon konsumen untuk memakai produk yang ditawarkan. Tapi iklan rokok tidak boleh mempersuasi atau menstimuli orang untuk (mulai) merokok. Bukankah teknik persuasi stimulus merupakan kekuatan ampuh yang diandalkan untuk mempromosikan suatu produk.

Iklan rokok merupakan pengecualian, karena dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok amat negatif. Iklan rokok benar-benar berdiri di antara ragam tekanan. Namun apa mau disebut, iklan rokok tetap eksis di dalam masyarakat, seirama dengan “memasyarakatkan” kebiasaan merokok. Bila kita mau mengibaratkan kampanye anti merokok sebagai “lawan” dari iklan rokok, lantas siapa sebenarnya yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ini? Iklan rokok atau iklan yang menghimbau untuk tidak merokok.

Di bawah judul iklan Mempengaruhi Konsumen merokok, Joseph Pandy menulis begini: “…Salah satu penyebab meningkatnya konsumen merokok adalah penampilan iklannya yang begitu menarik dan menyolok, sehingga konsumen --khususnya para remaja-- termakan olehnya (Kompas, 31 Mei 1992).

Tulisan staf YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) pusat itu mengacu pada data mengenai produksi rokok, dimana pada tahun 1991 terjadi penurunan sebesar 6,39 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi --walau terjadi penurunan produksi-- pemasukan dari cukai rokok ke kantong Negara ini mengalami kenaikan sebesar 20,22 persen. Pemasukan tersebut bukan hanya disebabkan karena kenaikan tarif cukai rokok, melainkan juga dipengaruhi karena makin meningkatnya konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Berpangkal dari uraian ini, sementara kita telah tahu bahwa iklan rokok adalah pemenang dari pertarungan melawan iklan “stop merokok”.

“Vonis” untuk Iklan Rokok

Rasanya terlalu pagi bagi kita untuk menjatuhkan “Vonis”, bahwa iklan rokok adalah faktor penyebab utama yang menjadikan seseorang merokok. Dalam mengupas permasalahan ini, rasanya juga kurang adil jika kita hanya memandang iklan rokok dari sisi negatifnya saja. Sebab, ternyata ada banyak faktor di luar iklan rokok yang mampu menciptakan sederet perokok aktif.

Satu di antara faktor tersebut adalah pergaulan. Banyak orang mengemukakan alasannya mengapa ia merokok, karena mereka tidak mau tersisih dari lingkaran pergaulan. Hal ini sering kita jumpai di kalangan remaja. Seorang remaja yang tidak merokok disebut “kuper” alias kurang pergaulan. Atau ada pula yang menyebutnya “kampungan”, entah apa relevansi kampungan dengan tidak merokok.

Merasa harga dirinya terancam, mereka bergegas mencoba --yang berarti juga menyesuaikan diri dengan lingkara pergaulan-- satu dua batang rokok dihisap dan lama-kelamaan terlena. Sama sekali ini bukan pengaruh iklan!

Namun bukan berarti iklan rokok tidak punya sumbangan berarti atas kebiasaan merokok di kalangan masyarakat. Iklan rokok jelas punya pengaruh, penulis percaya itu. Namun prosentase orang merokok karena iklan jauh lebih kecil di bandingkan prosentase orang merokok Karena terdesak pergaulan. Benar tidaknya bisa kita uji dengan pendekatan yang sederhana, yakni dengan mendeteksinya melalui terpaan media (media exposure).

Kebiasaan yang berlaku universal dalam diri seseorang adalah menghabiskan waktunya untuk pengurus pekerjaan atau bercakap-cakap ketimbang mengikuti isi pesan media massa. Nah, otomatis iklan yang termuat di dalam media tersebut --termasuk iklan rokok-- tidak selalu mendapat perhatian utama. Apalagi jika iklan-iklan yang mereka lirik, sebelumnya pernah mereka lihat. Kali ini mereka paling hanya meliriknya sekejap saja.

Posisi Sulit

Posisi sulit iklan rokok memang melahirkan kerumitan tersendiri. Ini lebih jelas terlihat di dalam tampilan-tampilan dan isi pesan iklan rokok. Kalau saja TKTCPI yang dijadikan sebagai sentral acuan, maka secara faktual --sampai kini-- masih banyak kita menemukan iklan-iklan rokok yang mencoba meloncati “pagar-pagar” etis TKTCPI.

Dikatakan di dalam TKTCPI, bahwa iklan rokok tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok. Tetapi coba lihat iklan rokok Bentoel yang digarap biro iklan AIM Communications, judulnya berbunyi: “Bentoel Pilihan Betul”. Bukankah calon konsumen telah dibujuk untuk memilih atau dengan kata lain segera menentukan pilihan yang betul (yakni menghisap rokok Bentoel).

Kemudian tengok iklan rokok Gudang Garam Filter, dengan melegitimasi secara sepihak bahwa produknya adalah selera pria, “Pria Punya Selera”. Djarum Super tak mau kalah, bahkan bernada menyerang Gudang Garam dengan penampilan iklannya berjudul “Bukan Sembarang Pria”. Atau kalau mau lebih jelas, lihatlah iklan rokok Dji Sam Soe, yang isi pesannya berbunyi: “Aaah …nikmatnya! Menghisap Dji Sam Soe…” kalau bukan membujuk konsumen untuk merokok, lantas apa namanya? Menjanjikan suatu kepuasan? Sama saja, tentunya.

Mendeteksi Motivasi

Satu hal yang penting dalam bidang periklanan adalah melakukan penelitian konsumen (consumer research), yakni untuk meneliti motivasi dan situasi calon konsumen. Fransisco M. Nicosia mengetengahkan dua bentuk motivasi mengapa seorang mengkonsumsi suatu produk, yakni motivasi primer dan motivasi selektif. Motivasi primer adalah orientasi terhadap produk yang diperlukan. Sedangkan motivasi selektif merupakan motivasi terhadap merek yang memperoleh preferensi khalayak. Dijelaskannya, kuat lemahnya suatu motivasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor perasaan dan faktor rasio, atau penggabungan dari kedua faktor tersebut.

Dalam kaitan ini, konsumen adalah sangat menentukan --berdasarkan preferensinya-- untuk memilih apakah ia akan membeli suatu produk atau tidak. Jadi sekali lagi bukan karena kekuatan iklan saja. Adakalanya seorang perokok tertarik melihat tayangan sebuah iklan rokok, karena unsur visualnya memikat. Tetapi, belum tentu --dengan hanya melihat iklan-- ia beralih menghisap rokok yang diiklankan itu. Konsumen bukanlah khalayak yang pasif, disuruh menghisap suatu merek rokok langsung patuh.

Jadi, iklan rokok --semenarik apapun-- sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang berarti apabila tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok cukup tinggi. Namun disisi lain, kita juga jangan langsung percaya pada premis barusan, bahwa iklan rokok tak punya kekuatan membius. Sebab, terpaan iklan yang datang bertubi-tubi, sedikit banyak akan berpengaruh saat kita membuat keputusan. Sekarang tinggal bagaimana kita mengarifi eksistensi iklan rokok di tengah-tengah masyarakat.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 7 Juni 1992

Tidak ada komentar: