Rabu, 15 Oktober 2008

MENDETEKSI IKLAN OBAT YANG SEDANG 'SAKIT'



Oleh Deddy H. Pakpahan

Pernyataan Menteri Kesehatan Adhyatma sekitar awal November 1992 yang mengatakan bahwa semua iklan obat yang di tayangkan televisi menyesatkan konsumen, mengundang polemik yang hangat dan tak lekang dirundung debat.

Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Yuska Ismail dan wakilnya Fachry Mohamad menyambut ‘bola’ yang digulirkan Menkes Adhyatma dengan nada penyesalan. Keduanya –mewakili suara P3I—berkata, prosedur penayangan iklan di televisi sudah dilalui sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. P3I bahkan menilai pernyataan tersebut tidak berdasar pada persoalan yang sebenarnya. Dan yang teramat disesalkan, Menkes Adhyatma langsung memvonis kalangan periklanan sebagai pihak yang bersalah (Kompas, 12 Nov 1992)

Apa pasalnya sehingga iklan-iklan obat dilayar TV dicap (seluruhnya) menyesatkan konsumen. Tidak lain karena iklan-iklan tersebut tidak mencantumkan efek samping maupun kontra indikasi dari produk yang ditawarkan. Jika ini kriteria baku untuk menilai iklan obat menyesatkan atau tidak, maka sebenarnya bukan iklan-iklan obat di media TV saja yang menyesatkan konsumen, tetapi juga di media lainnya. Karena di surat kabar, majalah, radio, bioskop maupun pada out of home media, kita tidak pernah menemukan iklan obat yang menyertakan keterangan mengenai efek sampingan atau kontra indikasi sebuah obat.

Bila mau kita telusuri, materi iklan obat yang terbukti menyesatkankonsumen memang dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan. Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan misalnya, memberi ancaman pidana yang tidak ringan untuk kasus ini. Pada pasal 41 ayat 2 UU tersebut dikatakan , “penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan obyektivitas dan tidak menyesatkan”. Sedangkan sanksi untuk pelanggaran pasal ini tercantum pada pasal 82 ayat 2.d, yakni berupa ancaman penjara pidana paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.

Produsen dan Iklan Obat

Tidak bisa dipungkiri bahwa obat sudah menjadi semacam kebutuhan pokok bagi masyarakat. Setiap tahun masyarakat Indonesia mengeluarkan sekitar 500 s/d 550 juta US dolar untuk mengkonsumsi obat-obatan. Jumlah ini masih tergolong tidak seberapa mengingat penduduk Indonesia yang berjumlah 180 jutajiwa lebih. Thailand, masyarakatnya mengkonsumsi obat sepuluh kali lipat dari jumlah yang dikonsumsi oleh masyarakat kita (Majalah Editor, No. 17/1992).

Satu hal yang dirasakan oleh masyarakat kita sekarang ini adalah mahalnya harga obat, baik yang dijual bebas di pasaran atau yang mesti ditebus dengan resep dokter. Hal ini wajar mengingat hampir 95 persen bahan baku obat yang diproduksi produsen dalam negeri masih harus diimpor. Kemudian untuk biaya riset yang memang cukup mahal. Bayangkan, untuk satu jenis obat saja produsen mesti mengeluarkan sekitar Rp 2 s/d 3 miliar untuk risetnya. Maka sebagai kompensasi dari total biaya produksi , produsen obat mesti melancarkan promosi yang gencar terhadap obat-obatan yang diproduksinya.

Memang suhu persaingan antar produsen obat semakin memanas. Bagaimana tidak, sampai kini kurang terdapat 12.500 merek obat yang beredar. Sedangkan industri farmasi yang berdiri (menurut data sampai akhir 1991) ada sebanyak 230 buah. Bisa diperkirakan, apa jadinya jika sebuah perusahaan obat tumpul dalam hal strategi promosi.

Tentang berpromosi Via iklan, sebenarnya kalangan produsen obat punya panutan sendiri, yakni Kode Etik Farmasi Indonesia (KEFI). Pada Bab II pasal 3 ayat 2 KEFI disebutkan, “Informasi harus disajikan dengan cara-cara etis, tidak boleh menyesatkan, baik langsung maupun tidak langsung”. Kemudian pada pasal 7 ayat 1 dikatakan, “Pengiklanan hendaknya bersifat etis, mendidik dan informative”.

Di sisi lain, pelaku-pelaku periklanan punya kode etik dalam menyajikan iklan-iklan obat, yakni seperti apa yang tetapkan dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI). Sebenarnya telah ada keragaman cara pandang menyajikan iklan obat, baik di dalam UU Kesehatan, KEFI maupun TKTCPI. Ketiganya mempunyai “satu nafas”,yakni menginginkan agar materi iklan obat digarap secara etis, tidak menyesatkan, informative dan mampu mendidik masyarakat. Mendidik dalam arti, membukakan mata masyarakat agar tahu dan mengerti tentang obat, minimal cara memilih obat yang aman, cocok, dan mampu mengatasi rasa sakitnya.

Semua iklan obat menjanjikan kesembuhan kepada masyarakat konsumen. Obat diproduksi memang untuk melenyapkan penyakit. Tetapi penyebab penyakit kan berbeda-beda. Ada pula iklan obat yang menjanjikan pengembalian uang 100 persen bila terbukti obat yang dipakinya tidak manjur.Tendensi beriklan seperti ini tak ubahnya seperti “tukang obat” di emperan “ pasar kaget”.

Jujur saja, masyarakat yang awam terhadap obat-obatan merupakan konsumen yang rentan terhadap tipu daya iklan (Gimmick Advertising). Mereka mudah tergiur dengan janji-janji surga. Kelemahan inilah yang acapkali dimanfaatkan untuk mempersuasi mereka. Dengan kata-kata ‘manjur’, ‘mujarab’,atau ‘amat berkhasiat’ produsen bisa mengeruk laba segunung. Tak ayal lagi iklan-iklan obat seperti ini bisa kita sebut menderita ‘sakit’. Ya sakit, karena selalu punya hasrat merayu konsumen tanpa argumentaasi yang jelas.

Mendeteksi Iklan Obat

Para pelaku bisnis periklanan, produsen obat, pihak media masa, pemerintah maupun masyarakat, tentu tidak menginginkan persoalan obat ini menjadi semakin rumit. Tuntaskan! Caranya, bukan dengan melarang iklan-iklan obat tampil di layar TV atau media masa lainnya, tetapi merenovasi tampilan-tampilannya agar memenuhi standar etis sebuah iklan obat yang tidak menyesatkan konsumen. Kalau saja ada kebijaksanaan melarang iklan obat tampil di media masa, itu sama saja dengan seorang dokter yang memutuskan mengambil langkah membunuh pasiennya (Euthanasia), karena memang pasien tersebut dianggap sudah tidak mungkin lagi diselamatkan.

NAmun bidang periklanan yang sedang tumbuh di negeri ini sama sekali tidak mengharapkan pemerintah berlaku seperti dokter di atas, yakni menarik iklan-iklan obat dari media masa. Yang penting sekarang adalah bagaimana memperkokoh kematangan moral (Moral Maturity) di kalangan pelaku bisnis periklanan dan terlebih pada para produsen obat. Perusahaan periklanan wajib tunduk pada TKTCPI, produsen obat mesti menghormati KEFI, sedangkan pemerintah berdiri di atas banyak kepentingan, yakni kepentingan pengiklan, perusahaan periklanan tanpa harus absen untuk memperhatikan kepentingan masyarakat.

Satu hal yang paling tidak kita inginkan bersama adalah akibat buruk yang ditimbulkan oleh iklan –iklan obat. Dan lebih tidak arif lagi bila setelah muncul akibat buruk lantas kita sibuk mencari ‘kambing hitam’, mencari siapa yang mesti bertanggung jawab. Seseorang yang diradang keracunan obat karena tidak mengerti efek sampingan serta kontra indikasi sebuah obat yang ditelannya –lantaran iklan tidak informatif—menggelepar. Lantas siapa yang mesti dituntut, produsen, penggarap iklan, pihak institusi media masa, atau pemerintah? Atau bahkan kita menyalahkan korban (Blaming The Victim) yang tengah sekarat.

Menyalahkan pihak-pihak tertentu --setelah jatuh korban-- tanpa mau introspeksi akan kefatalan yang dibuat sendiri, tentu bukan jalan keluar yang baik. Agaknya memang tidak ada kata terlambat bagi kita untuk mendeteksi kembali iklan-iklan obat yang sedang ‘sakit’. Dan tentu saja segera mencari ‘formula’ yang paling tepat untuk penyembuhannya, merupakan tugas kita bersama. Tanpa terkecuali.

Artikel ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia, 29 November 1992

Tidak ada komentar: