Rabu, 15 Oktober 2008

PLASTISITAS POLA KONSUMSI REMAJA DAN IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Remaja, mungkin adalah kelompok umur yang paling diincar oleh para pengiklan dalam mempromosikan suatu produk. Alasannya sederhana saja, karena kelompok umur ini dari kacamata psikologis dipandang sebagai individu-individu yang masih rentan, mudah dipengaruhi dan dibujuk. Kerentanan remaja --umumnya terelihat dari labilnya perilaku-- juga terekspresikan dalam pola konsumsi. Hal ini merupakan Weakness atau kelemahan yang kerap dimanfaatkan para pengiklan sebagai “pintu masuk” yang paling tepat.

Sebagai bagian dari usaha promosi yang menunjang pemasaran, penentuan sasaran pasar (target market) sebuah iklan dengan memperhatikan kelompok umur adalah kiat yang jamak dilakukan. Memperhatikan di sini bukan sebatas melihat kebutuhannya saja, melainkan juga perilaku kelompok-kelompok sasaran. Edward W. Cundiff, Richard R. Still dan Norman A.P Govoni dalam buku mereka “Fundamentals of Modern Marketing” mengatakan: memperhatikan perilaku pembeli (buyer behaviour) adalah mutlak diperlukan dalam konsep pemasaran. Sukses atau gagalnya proses pemasaran amat tergantung pada reaksi individu atau kelompok tertentu yang tercermin di dalam pola konsumsinya (h.128).

Plastisitas Pola Konsumsi

Bagaimana sebenarnya pola konsumsi remaja itu? Disini pola konsumsi bisa didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Dan yang dimaksud dengan remaja, agar tidak terlalu meluas, kita batasi saja yakni kelompok umur antara 15-21 tahun (menurut L.C.T Bigot, Ph. Kohnstam dan B.G. Palland. Ketiganya pakar psikologi dari Belanda). Rentangan usia tersebut sebenarnya dibagi lagi, yakni remaja awal dan remaja akhir. Tetapi dalam kaitan ini kita tidak perlu memperdebatkannya sampai titik terdetail.

Kaum remaja pada umumya memiliki pola konsumsi yang plastis. Artinya, mereka tidak selalu terikat pada suatu produk tertentu dengan merek tertentu pula. Agak sedikit mirip dengan pola konsumsi kelompok umur lainnya. Plastisitas pola konsumsi remaja lebih banyak dipengaruhi oleh trend yang disepakati kelompok teman sebayanya. Elizabeth B. Hurlock pernah menyebut adanya lima kelompok dalam masa remaja, yakni: kelompok Chums, cliques, crowds, kelompok yang diorganisir dan gangs. Dari interaksi di dalam kelompok-kelompok inilah para remaja mulai mengikuti “irama massa”. Apa yang sedang model, nge-trend atau “musim”, mereka jadikan panutan. Begitu pula sebaliknya, yang tampak “ngampung”, udik atau sudah ketinggalan jaman alias tak up to date lagi, langsung saja mereka tinggalkan. Secara transparan tampak adanya sikap plastis yang sudah terpolakan.

Plastisitas pola konsumsi yang demikian merupakan sasaran empuk yang mudah dideteksi oleh pihak produsen. Bisa kita saksikan sendiri bagaimana hebatnya produsen “membius” kesadaran remaja melalui iklan-iklannya. Kiatnya mudah, tinggal menyisipkan kalimat dalam wujud tercetak atau dialog audial dan atau audio-visual yang sinkron dengan “irama massa”.

Media yang paling banyak memberikan tempat untuk iklan-iklan seperti itu adalah media cetak (majalah) yang khusus diperuntukkan bagi remaja. Di sana di iklankan produk-produk seperti T-shirt, kemeja, sepatu, arloji, dan masih banyak lagi. Televisi dan radio pun tidak ketinggalan untuk dijadikan sebagai medium yang ampuh. Lihat saja iklan perusahaan fast-food yang rata-rata menggunakan kaum remaja sebagai model iklannya. Jarang sekali yang menggunakan model orang dewasa, padahal ragam jenis fast-food tidak hanya di konsumsi oleh kaum remaja saja.

Sebuah perusahaan pembuat produk–produk kosmetika berpromosi via iklan begini: “…Di kampus, di pesta , di (tempat) senam ia selalu percaya diri”. Yang diajak berbincang menjawab. “itu kan karena ia selalu memakai …(nama merek hair-spray yang ditawarkan)”. Kemudian, dalam rangka menyambut grand-opening, sebuah perusahaan fast-food memberikan potongan harga sebesar 20% bagi pelajar. Kenapa hanya untuk pelajar? Tentunya ada udang dibalik batu, dan kita sudah bisa menerkanya.

“Polusi” Gaya Hidup

Ada beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan, bahwa konsumerisme yang diduga dimotori oleh iklan, tidak terbuktikan. Tetapi bila kita bersandar pada teori, dimana iklan yang efektif akan mampu meningkatkan pejualan suatu produk, maka kita tidak harus sepenuhnya mempercayai hasil penelitian tersebut.

Konsumerisme acapkali disebut sebagai gaya hidup konsumen yang negatif. Kata konsumerisme sendiri sebenarnya sulit untuk diberi definisinya. Seseorang yang memiliki uang berlebihan membeli barang yang tergolong tak terlalu penting. Apakah ia bisa dibilang konsumtif? Baginya, mungkin itu sesuatu yang wajar dengan dalih tuntutan status sosialnya. Bukankah kasus ini sedikit mengisyaratkan bahwa daya beli masyarakat (keadaan ekonomi masyarakat) membaik. Jadi, kalau daya beli masyarakat membaik, tidak pada tempatnya jika menuduh bahwa masyarakat sudah terjerumus dalam iklim konsumerisme.

Namun persoalannya akan menjadi lain bila kita mencermati pola konsumsi kaum remaja. Pengaruh iklan tampaknya mulai menggiring kaum remaja berperilaku (terlalu) konsumtif. Mereka banyak yang termakan persuasi iklan hanya untuk unjuk gigi bahwa mereka berpola hidup modern, tidak “kampungan” lagi, walau sebenarnya mereka tidak paham benar, apa hidup modern itu sebenarnya.

Direktur Intervista Advertising, Nuradi, pernah mengungkapkan tentang modernitas yang banyak dijadikan tema persuasi di dalam iklan. Dan pengaruhnya terbilang cukup kuat. Nuradi percaya bahwa iklan punya pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat (Prisma, No.6 Tahun 1977).

Kenyataannya memang demikian. Kata-kata bertema modernitas dan padanannya, terlampau dijunjung tinggi dan sudah terlanjur dianggap canggih. Akhirnya, gaya hidup juga mulai dikondisikan semoderen mungkin. Contoh sederhananya, yang dulunya suka makan baso, kini beralih mengunyah French-fries atau fried chicken ditemani segelas milk shake atau fruit punch sebagai pengganti teh pahit. Mungkin ini yang dianggap modern…?.

Jika takarannya masih normal atau masih dalam batasan tertentu, pasti ini bukanlah masalah. Tetapi kalau sudah berlebihan, maka akan terjadi semacam “polusi” gaya hidup yang secara akumulatif akan menjerumus pada tingkat konsumerisme yang dikhawatirkan banyak pihak. Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika sebagian besar remaja telah bergaya hidup komsumtif --terlalu berlebihan-- dalam mengkonsumsi sesuatu yang ditawarkan melalui iklan.

Satu-satunya penangkal tergiringnya kaum remaja ke arah gaya hidup yang terlalu konsumtif adalah dengan membiasakan mereka berpikir kritis lagi logis ketika berhadapan dengan iklan. Memang, kita tidak bisa melempar kesalahan kepada pengiklan dan penggarap iklan. Jawabannya tetap saja klise: ini tuntutan bisnis!.

Memang tidak mudah membiasakan berpikir kritis dan logis ini di tengah interaksi remaja. Hasil penelitian psikologi kognitif yang paling mutakhir pun mengatakan, bahwa manusia lebih sering berpikir tidak logis. Tetapi untuk mencoba membiasakannya tentu tidaklah salah, bukan?.

Dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 28 Juni 1992

Tidak ada komentar: