Rabu, 15 Oktober 2008

TAKARAN MENGGUNAKAN HUMOR DALAM IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Kalimat-kalimat ujaran seperti: “Lho kok loyo…?”, “Ooh tetangga kita batuk” atau “lontong…lontong, eeh … tolong, tolong…” yang hadir dalam iklan-iklan produk di layar TV, rasanya sudah tidak asing lagi telinga kita.

Diakui atau tidak, setelah kalimat tersebut kita dengar dan kemudian “dimanipulasi” oleh pikiran dan perasaan, ternyata memiliki sense of humour tersendiri dan dianggap punya daya tarik oleh pemirsa TV. Sebagai bukti, banyak anggota masyarakat “latah” meniru kalimat-kalimat tadi saat bercakap-cakap dengan temannya atau juga rekan sekerja. Kalimat-kalimat yang tersembul dalam iklan audio visual itu, ternyata, mampu membuat percakapan menjadi tambah akrab. Dan seringkali teman yang diajak bercakap, dengan sesekali diselingi kalimat humor iklan, tertawa terpingkal-pingkal.

Mentransformasikan humor ke dalam sebuah iklan, bukanlah ide yang tanpa tujuan. Seperti halnya banyak kiat yang sudah dipraktekkan, kiat menyisipkan unsur humor ke dalam iklan memiliki tujuan memberi daya tarik dari iklan itu sendiri. Akan halnya memasang iklan yang “humoris” di layar TV, tentu saja untuk memancing perhatian para pemirsa TV terhadap suatu produk yang ditawarkan.

Humor, untuk sebagian kalangan praktisi periklanan dipandang memiliki kekuatan mempersuasi calon konsumen. Selain mengandalkan kelucuan naskah iklannya, tidak jarang para penggarap iklan memakai seorang pelawak sebagai model iklan. Mereka mempunyai rumusan bahwa dialog yang dibawakan serta logat sang pelawak akan melahirkan banyolan-banyolan segar yang merangsang perhatian pemirsa. Atau paling tidak, pemirsa akan geli melihat wajah sang pelawak yang mendekati baby face.

Lihat saja satu iklan Mixagrip yang mengetengahkan kepiawaian Djodjon Cs. Dalam hal mengocok perut. Atau Ajinomoto yang menggunakan pelawak (alm) S. Bagio, lantas iklan Salonpas yang tak ketinggalan menghadirkan pelawak Asmuni, juga Darto Helem yang hadir dalam iklan Vick’s Formula 44, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Menggunakan “jasa humor” pelawak atau membubuhkan kalimat-kalimat humoris dalam penampilan iklan, sekali lagi, tujuannya adalah untuk menggaet perhatian calon konsumen.

Timbul persoalan yang isinya mempertanyakan kembali, apakah panggunaan unsur humor di dalam pesan iklan akan mampu meningkatkan hasil dari aktivitas promosi suatu produk tertentu? Atau malah sebaliknya, humor bisa “mengaburkan“ misi pesan iklan, dimana terjadi bias perhatian pemirsa yang menjadi target-marketnya. Dengan lain perkataan, pemirsa menyaksikan iklan lantaran lebih tertarik dengan humornya, dan bukan karena alasan tertarik pada produk yang diiklankan.

Menonjolkan Unsur Humor

Para praktisi periklanan di Negara Amerika Serikat ternyata banyak yang tidak sepenuhnya percaya terhadap kekuatan humor di dalam iklan. Mereka beraggapan, humor bisa saja menghibur, tetapi tidak selalu membantu penjualan barang atau jasa. Boleh jadi, tampilan iklan di Negara Paman Sam menjadi tidak didominasi unsur-unsur humor. Biro iklan disana lebih senang memilih sejumlah nama aktris atau aktor dan juga penyanyi top sebagai model iklannya.

Perusahaan minuman Pepsi, misalnya, di tahun 1984 memilih Michael Jackson sebagai model iklannya dengan bayaran US$ 4,5 juta. Kemudian di tahun 1989, Pepsi menandatangani kontrak iklannya dengan penyanyi top Madonna. Saat itu Madonna memperoleh US$ 5 juta untuk tampil dalam film iklan Pepsi yang durasinya hanya 2 menit. Ini sekedar contoh untuk menggambarkan, betapa iklan harus ditebus dengan biaya yang tidak murah agar penampilannya bisa memancing perhatian calon konsumen.

Namun di dalam bisnis periklanan, bukan hanya cost yang mahal. Ide-ide untuk tampilan iklan pun dihargai sangat mahal, karena ia harus muncul dari daya imajinasi dan proses kreativitas yang tinggi. Tidak hanya itu, ide iklan yang baik hanya bisa dihasilkan dari kadar intelektual yang memadai, naluri yang tajam serta pengalaman yang cukup dari para pencipta iklan. Salah satu ide beriklan itu adalah dengan menggunakan unsur humor dalam meramu pesan iklan.

Keyakinan banyak praktisi periklanan di Amerika Serikat --yang tidak sepenuhnya percaya akan kekuatan unsur humor di dalam iklan-- memang cukup beralasan bila kita memandang bahwa hal itu akan menimbulkan bias pada pesan iklan yang akan disampaikan. Tetapi, bisa juga keyakinan itu meleset manakala humor menjadi kiat yang jitu untuk mempertemukan produk tertentu dengan konsumen. Dari dua asumsi berbeda inilah kita berhak mencari pembuktian, mana yang benar dari keduanya.

Periklanan merupakan sebagian dari kegiatan ekonomi yang bersifat serius. Astrid S. Susanto (1989) menegaskan ini seraya mengatakan bahwa iklan diharapkan menjauhkan diri dari pendekatan naluri negatif manusia, maupun membawa lelucon-lelucon (terutama yang “kotor”).

Mencermati apa yang sudah dikemukakan Astrid, bukan lantas kita mengambil jalan pintas dengan menghilangkan unsur humor dalam pesan-pesan iklan. Lebih dari itu, hendaknya pikiran kita mau digiring untuk lebih memahami apa sebenarnya fungsi dan tujuan iklan. Selain itu, sebagai bahan masukan yang berharga, iklan harus terlepas dari ujaran-ujaran “kotor” yang terkesan punya selera rendah (low taste) atau murahan.

Fungsi iklan adalah untuk mempertemukan konsumen dengan sesuatu produk. Dan tujuannya tentu saja bukan untuk menghibur, tetapi untuk memberi informasi kepada khalayak mengenai hal ikhwal sebuah produk. Walau demikian , bukan berarti iklan tidak boleh menghibur. Segala lelucon atau dagelan sah-sah saja bila dijadikan “senjata” dalam usaha menggaet perhatian (to capture attention) calon konsumen. Dari pemahaman ini, maka humor harus diperlakukan sebagai “alat” dan bukan merupakan tujuan. Dengan demikian, unsur humor harus sinkron dan mampu menunjang tercapainya tujuan, yakni memberi informasi segala hal yang berkaitan dengan produk yang ditawarkan.

Namun terkadang unsur humor lebih ditonjolkan ketimbang informasi mengenai produk. Hampir dapat dipastikan, penonjolan unsur humor yang over dosis akan melahirkan dialog-dialog jenaka, ketimbang informasi keunggulan komparatif sebuah produk. Kondisi yang demikian, bila kita tinjau dari segi efektivitas tujuan pesan, adalah cukup “berbahaya”. Calon konsumen akan menjadi lebih akrab dengan lelucon iklan tersebut dan (mungkin) tidak ambil pusing untuk memikirkan manfaat produk yang diiklankan.

Padahal dari iklan tersebut diharapkan terjadi behavioral effect yang positif di kalangan masyarakat, yakni kegiatan untuk mengkonsumsi produk yang disodorkan. Tetapi, bagaimana mungkin mereka akan mengkonsumsi, bila mereka sendiri tidak tahu apa (gunanya) produk itu. Pada kasus ini, perhatian khalayak telah terpecah karena unsur humor lebih kuat dibandingkan unsur yang sifatnya lebih informatif mengenai produk.

Perlu Memperhatikan Takaran

Mungkin karena sifat alamiah manusia (human nature) selalu ingin merasakan senang, maka elemen efektifnya (sisi perasaan) lebih berperan. Tidak heran jika perhatian khalayak akan terpusat pada unsur humor, yang mampu membuat hatinya senang. Nah, dari kasus ini ada baiknya kita memikirkan bagaimana meramu unsur humor di dalam sebuah iklan dengan tidak mengaburkan unsur informatif dari produk yang ditawarkan. Artinya, kita perlu memperhatikan takaran menggunakan unsur humor di dalam pesan-pesan iklan.

Kenneth E. Andersen pernah menguraikan ihwal perhatian yang selektif (selective attention). Ia menilai bahwa perhatian selektif adalah proses yang aktif dan dinamis. Manusia cenderung memperhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol dan melibatkan dirinya. Selain itu, untuk mempertahankan perhatian, suatu perubahan atau variasi merupakan hal yang sangat penting. Dari sini kita bisa membuat takaran yang tepat.

Mengacu pada pendapat Andersen dan merapatkannya pada konteks pembahasan ini, maka unsur yang paling menonjol di dalam pesan iklan cenderung akan mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan unsur lain yang kurang ditonjolkan. Nah, bila unsur humor yang lebih dominan, maka isi humor berupa dialog yang mengundang “geerrr…” akan menjadi pusat perhatian.

Di sinilah pentingnya menempatkan unsur humor pada porsi yang sebenarnya. Ingat, humor hanya “alat” dan bukan tujuan beriklan. Sebaliknya, porsi unsur informatif produk harus lebih diperhatikan, baik dari segi kualitas maupun porsi penempatannya. Unsur humor memang harus lebih kecil porsinya dan tidak pelu tampil sepanjang durasi.

Namun bila pengiklan dan penggarap iklan menginginkan iklannya tampil full humour sepanjang durasi, maka satu hal yang mesti dilakukan adalah menciptakan humor yang tidak berdiri sendiri. Artinya, humor atau sisipan-sisipan jenaka lainnya tidak sebatas membuat orang terpingkal-pingkal. Tetapi lebih daripada itu, humor juga harus informatif, yakni berisi penjelasan atau kharakteristik suatu produk tertentu.

Akan halnya takaran tadi, sudah barang tentu tidak ada dalil yang baku atau formulasi yang tepat. Semuanya tergantung pada intuisi para pencipta iklan. Semua orang tahu, bahwa takaran yang baik selalu memberikan perimbangan yang baik pula. Namun yang agaknya penting untuk diberi garis tebal adalah perlunya menghindari unsur-unsur humor yang tidak ada relevansinya dengan produk yang diiklankan.

Jika takaran humor dipandang remeh, bukan mustahil akan muncul stimuli yang tidak terkondisikan (unconditioned stimuli), dimana khalayak tidak lagi dirangsang untuk mengkonsumsi produk, melainkan hanya dirangsang untuk tertawa. Bahkan (yang lebih fatal) khalayak menertawakan produk tersebut. Jelas ini tidak menguntungkan usaha promosi dari suatu produk tertentu. Akhirnya, membuat khalayak tertawa dengan memadukan unsur-unsur humor di dalam iklan boleh saja. Tetapi, jangan sampai khalayak menertawakan produk yang anda iklankan.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 31 Mei 1992

Tidak ada komentar: