Rabu, 15 Oktober 2008

TENDENSI GIGANTISME DALAM PERIKLANAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Ada sebuah topik perbincangan di kalangan praktisi periklanan yang sampai sekarang masih kerap diperdebatkan. Topik tersebut pada intinya ingin menanyakan, apakah sebuah iklan perlu diproduksi secara besar-besaran.

Dengan budget iklan yang jauh di atas kategori memadai, sebuah perusahaan besar cenderung memilih bentuk-bentuk iklan dalam ukuran raksasa. Di halaman-halaman surat kabar atau majalah, iklan berukuran besar ini tampil memenuhi lahan yang ada. Di media elektronik --televisi dan radio-- iklan-iklan ini bisa tampil “melar” dengan durasi yang lebih lama dibandingkan iklan lainnya.

Untuk media luar ruang (out door), biasanya dalam wujud billboard, perusahaan besar membangunnya besar-besaran pula. Iklan itu seakan ingin menunjukkan jatidiri perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan untuk perusahaan yang termasuk dalam klasifikasi di bawah memadai dengan keterbatasan anggaran iklan, apa boleh buat, hanya kebagian kolom-kolom mungil di media cetak dan durasi singkat di media elektronik.

Berpangkal dari kenyataan tersebut --dimana terdapat kecenderungan memproduksi iklan secara besar-besaran (penulis ingin sekali menyebutnya sebagai “tendensi gigantisme”, karena merujuk pada sesuatu yang serba besar dan “wah”)—agaknya memang telah lahir semacam konsensus tak tertulis di dalam praktek periklanan, bahwa sebuah perusahaan yang assetnya berlimpah-ruah “wajib” memproduksi iklannya dalam ukuran besar.

Sebuah studi mengenai periklanan di Amerika Serikat yang ingin meneropong bagaimana respon publik terhadap iklan yang disajikan di halaman surat kabar dan majalah, menghasilkan kesimpulan yang menarik. Dikatakan bahwa kebanyakan pembaca cenderung menyamakan ukuran sebuah iklan dengan perusahaan yang memasangnya. Ini berarti khalayak pembaca akan memiliki anggapan bahwa perusahaan “XYZ” adalah sebuah perusahaan yang besar bila memasang iklan dengan ukuran besar. Begitu juga sebaliknya.

Anggapan yang menyamakan ukuran iklan dengan kondisi (asset) perusahaan seperti itu, tidak selamanya benar. Bahkan boleh dibilang, kita telah terperosok ke dalam kesimpulan sebuah korelasi yang kurang bisa di pertanggungjawabkan validitasnya. Mengapa? Karena bisa saja perusahaan kecil memasang iklan secara besar-besaran, walau konsekuensinya anggaran mereka terkuras habis, agar masyarakat menilai bahwa perusahaan itu memiliki prospek komersial yang baik, misalnya.

Alec Benn, seorang professional periklanan di AS, pernah mengomentari topik ini di dalam bukunya The 27 Most Common Mistakes in Advertising (menjalani cetak ulang tahun 1961). Katanya, para pekerja atau penggarap iklan lebih suka menciptakan iklan dalam ukuran yang besar, atau menggarap iklan dengan durasi yang panjang. Sebab dengan begitu mereka lebih memiliki keleluasaan menuangkan ide-ide kreatif menjadi sebuah pesan iklan. Strategi pendekatan kepada target market pun lebih mudah disusun. Iklan-iklan big size diprediksi sanggup mendramatisir proses penyaluran isi pesan dan lebih ampuh dipaki sebagai alat menjual.

Banyak perusahaan berkehendak iklannya dirancang secara besar-besaran. Mengapa? Karena biaya yang mesti dikeluarkan sebagai pengganti hasil proses kreatif antara iklan berukuran besar dengan iklan berukuran kecil, menurut Benn adalah sama. Yang membedakan hanya cost penyajian dimasing-masing media.

Tendensi Gigantisme

Apa yang disebut sebagai “tendensi gigantisme” di dalam praktek periklanan tidak lain adalah kecenderungan para pengiklan dan biro iklan untuk menciptakan sebuah iklan dalam ukuran besar, dan memiliki kesan menakjubkan.

Selain hendak menyodorkan gambaran jatidiri perusahaan atau corporate image yang positif di tengah masyarakat, dari segi efektifitas pesan, kecenderungan ini dipandang mampu memperlancar arus distribusi produk kepada konsumen atau membangkitkan kepercayaan yang lebih kuat di tengah masyarakat.

Namun tidak selamanya iklan mesti ditampilkan secara gigantis. Ada batasan-batasan tertentu. Alec Benn berpendapat bahwa salah satu kesalahan yang umum terjadi didalam praktek periklanan adalah membuat iklan dengan ukuran jauh lebih besar dari yang semestinya. Nah, ini yang amat perlu untuk ditilik kembali.

Sebagai contoh misalnya sebuah perusahaan pemroduksi salep kulit. Alangkah naifnya perusahaan tersebut bila ngotot ingin memasang iklan satu halaman penuh di sebuah surat kabar berkaliber nasional. Padahal, sambil menghemat pengeluaran, masih ada alternatif ukuran lain yang mungkin tidak kalah efektifnya. Di sinilah, pentingnya bertindak cukup arif lagi selektif dalam menentukan ukuran sebuah iklan.

Tugas utama yang diemban oleh sebuah iklan adalah bagaimana ia mampu menangkap perhatian (to capture attention) khalayak. Kemudian setelah itu, tugas kedua adalah mempertahankan perhatian (to hold attention) yang telah didapat. Lalu, memakai kondisi-kondisi tersebut untuk meggerakkan calon konsumen bertindak (to make usefull), yakni mengkonsumsi produk atau memakai jasa yang ditawarkan.

Tugas-tugas yang lebih merupakan tujuan objektif dari iklan, seperti disebut diatas, jelas membutuhkan perangkat atau instrumen yang kompleks. Pada tahap memburu perhatian khalayak, unsur-unsur di dalam iklan seperti: warna, foto, model, naskah, ukuran, bentuk-bentuk huruf dan masih beberapa lagi lainnya, merupakan unsur potensial yang bisa dimodifikasi (bahkan dimanipulasi) untuk menggiring perhatian khalayak penerima iklan.

Untuk mempertahankan perhatian yang telah diterima, biasaya pengiklan menggunakan teknik pengulangan, yakni dengan berkali-kali menampilkan iklannya. Sedangkan untuk menggerakkan konsumen bertindak, biasanya pengiklan menyerukan bahwa produk yang ditawarkan (bisa juga dalam bentuk jasa) memiliki keuntungan komparatif yang lebih unggul dibandingkan produk/jasa lainnya yang sejenis. Masih banyak kiat lain yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan itu.

Tidak Harus Besar

Memang, untuk alasan-alasan tertentu, kadangkala iklan memerlukan ruang halaman yang luas atau durasi yang sedikit lebih panjang. Iklan grand opening sebuah hotel mewah, misalnya. Banyak perusahaan/instansi yang ingin mengucapkan selamat. Logo-logo mereka kerap disertakan, yang kalau dihitung-hitung satu halaman surat kabar saja tidak cukup menampungnya. Kalau memang begitu, tidak ada salahnya menyewa ruang yang sedikit lega. Iklan gigantis agaknya merupakan solusi yang tepat untuk kasus ini.

Lantas bagaimana halnya dengan iklan yang hanya berkehendak mempromosikan suatu produk atau jasa tertentu? Jawabannya, ukuran iklan kategori ini tidak harus besar. Bisa pengiklan memanfaatkan warna sebagai unsur yang mendapat penekanan. Selain itu, tidak tertutup pula kemungkinan membangun daya tarik melalui pemilihan jenis huruf-huruf iklan. Atau, memilih model yang tepat untuk visualisasi iklan. Jadi, bukan hanya ukuran iklan yang bisa dijadikan landas prediksi penilaian, berhasil tidaknya sebuah pesan promosi.

Problema ini akhirnya akan bermuara pada ihwal mereka. Bentuk pesan iklan, seperti pernah dikatakan Robert Gilliam Scott, guru besar pada Departement of Design, Yale University, bahwa reka bentuk adalah tindakan kreatif yang memenuhi maksudnya. Maka dalam menciptakan iklan pun maksud dan tujuannya harus diusahakan tidak mengalami bias. Walaupun tampil dengan ukuran kecil, bukan berarti pengiklan harus berkecil hati. Manfaatkanlah unsur-unsur potensial seoptimal mungkin. Itu yang perlu dikerjakan.

Tanpa bermaksud merendahkan iklan-iklan yang telah tampil secara gigantis, seyogyanya pengiklan mampu mengintip peluang-peluang baru yang masih kosong. Biaya memasang iklan satu halaman penuh di sebuah surat kabar umpamanya mencapai 20 juta, untuk sekali pemuatan. Bukankah lebih baik meyewa seperempat halaman dengan biaya sekali pemuatan Rp 5 juta, tetapi tampil sebanyak empat kali. Taktik beriklan yang demikian lebih efektif dan efisien jika dilihat dari sisi pengeluaran.

Untuk media elektronik seperti televisi misalnya, iklan dalam bentuk spot berdurasi pendek, juga merupakan alternatif yang baik, asal digarap secara tidak “asal-asalan”. Memang biayanya lebih murah, tapi bukan berarti “murahan”.


Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 4 Oktober 1992

Tidak ada komentar: