Rabu, 15 Oktober 2008

TERPERANGKAP SEBAGAI KONSUMEN KOMPULSIF

Oleh Deddy H. Pakpahan

Di antara kita pasti tidak ada yang bisa menjawab secara tepat, kapan kebiasaan “shopping” di kalangan wanita Indonesia mulai tumbuh. Tak usah repot-repot mengernyitkan dahi, yang pasti kebiasaan itu muncul ketika supermarket, departement store, plaza, maupun mall merebak, terutama disudut kota-kota besar.

Anggapan bahwa kaum wanita paling ‘getol’ berbelanja dibandingkan kaum pria memang bisa dimaklumi, walau banyak juga kaum pria sekarang yang keranjingan hobi berbelanja. Di Amerika Serikat, dari hasil penelitian Dr. Thomas O’Guinn dari College of Communications, Universitas Illnois --seperti pernah diberitakan The International Herald Tribune-- bisa dilihat bahwa nafsu belanja masyarakat Amerika Serikat amat menggebu-gebu dan terjadi di semua tingkat penghasilan, dari mereka yang berpenghasilan di bawah US$ 10 ribu/tahun sampai yang berpenghasilan US$ 300 ribu setahunnya.

Selain itu penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sebanyak 6 persen warga Amerika Serikat telah terperangkap sebagai ‘konsumen kompulsif’ atau disebut compulsive-spenders oleh kalangan ahli jiwa di Negara Paman Sam sana. Konsumen kompulsif adalah mereka yang dalam membeli sesuatu tidak didasarkan pada pertimbangan akal sehat, melainkan karena dorongan emosi yang kuat. Namun kenyataan yang cukup menarik dari penelitian Dr. Thomas ini adalah, kaum hawa merupakan mayoritas di antara sekian konsumen kompulsif di AS.

Majalah Wanita

Suatu akibat tidak akan pernah lahir tanpa adanya sebab. Begitu pula halnya dengan kebiasaan shopping di kalangan wanita (termasuk ibu rumah tangga maupun remaja putri). Salah satu penyebab (faktor eksternal) adalah terpaan media massa (media exposure) yang isi pesannya, termasuk iklan, tidak bisa ditampik karena sudah menjadi kebutuhan.

Dari sekian media massa yang ada, majalah wanita tampaknya paling banyak berperan dalam menggiring kaum hawa --sebagai khalayak pembacanya-- menjadi konsumen kompulsif. Majalah-majalah seperti Kartini, Femina, Dewi, atau juga majalah untuk remaja puteri seperti Gadis, banyak sekali memuat iklan-iklan produk yang sifatnya bukan merupakan barang-barang kebutuhan primer, alias cenderung lux. Mulai dari tissue atau kapas kecantikan sampai mobil sedan “kebanggaan ratu rumah tangga”, iklannya bertubi-tubi menyerang halaman demi halaman majalah wanita. Sebagian besar memang bersifat kosmetis semata.

Memang tidak bisa disangkal bahwa majalah jenis ini memiliki semacam daya tarik, sekaligus kekuatan untuk memikat perhatian pengiklan. Atau mungkin ada semacam kesamaan persepsi di kalangan pengiklan, bahwa halaman demi halaman di majalah wanita merupakan ruangan yang potensial untuk digarap (tentu dengan pertimbangan bahwa wanita itu senang shopping).

Hal tersebut bisa dibuktikan dengan melihat total belanja iklan untuk majalah wanita. Kita bisa merujuk pada perhitungan yang dibuat Monitoring Matari, yang membandingkan pendapatan iklan di 6 (enam) majalah wanita dan 1 (satu) tabloid wanita pada tahun 1990 dan 1991 (lihat tabel).

Mengapa mengambil contoh di tahun 1990 dan 1991? Karena pada tahun tersebut terjadi penurunan belanja iklan di beberapa media yang di sebabkan penetrasi TV swasta. Belanja iklan tahun 1990 sebesar Rp 82 miliar menjadi Rp 60,7 miliar pada 1991 (sumber: Asian Advertising & Marketing, April 1992). Lantas apa yang terjadi di balik angka-angka tersebut.

Ternyata majalah wanita merupakan media yang ‘tak mempan’ dengan imbas masuknya TV swasta. Dari 10 besar majalah yang paling banyak menyedot iklan, enam diantaranya adalah majalah wanita, termasuk dua majalah remaja puteri dan satu tabloid wanita.

Mencoba membuka rubrik per rubrik di beberapa majalah wanita, tampak bahwa memang spesialisasi yang disandangnya mamiliki peluang besar untuk ‘dilirik’ pengiklan. Rubrik konsultasi kecantikan misalnya, tentu klop dengan iklan-iklan produk kecantikan seperti lipstick atau parfum. Rubrik yang mengupas mengenai busana cocok diintervensi iklan-iklan busana karya desainer kondang. Dan masih banyak rubrik lain yang memang layak diisi iklan-iklan produk yang memanjakan wanita.

Belum lagi jika pengiklan mau memanfaatkan ‘naluri keibuan ‘ --yang memang ada pada tiap-tiap wanita-- untuk mempromosikan produk seperti makanan atau susu bayi. Tak jarang pula kita dapati iklan yang menggunakan persuasi “Agar suami betah di rumah” untuk produk seperti bumbu masak, dan masih banyak contoh lainnya.

Bukankah setiap wanita (yang telah berkeluarga) ingin mengekspresikan rasa kasih sayangnya kepada suami dan anak-anaknya setransparan mungkin. Sedangkan untuk dirinya sendiri, tiap wanita pasti ingin tampil dengan kecantikan fisik (Physical Attractivenes) yang ukurannya hanya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Maka jangan heran jika fokus kampanye iklan-iklan produk (untuk) wanita sebagian besar ingin memberikan hasil perubahan fisik seatraktif mungkin, entah dibagian bibir, bulu mata, atau kuku di jemari kaki dan tangan.

Strategi Menjerat

Dalam bukunya berjudul Mass Media and Their Publics in News, Advertising, Politics, Kathlenn H. Jamieson sempat menceritakan mengenai kondisi belanja iklan media massa di Amerika Serikat tahun 1981, dimana saat itu perekonomian AS dirundung resesi. Belanja iklan di majalah seperti Time, Newsweek, Reader’s Digest, Cosmopolitan, dan New Yorker mengalami penurunan yang drastis. Newsweek misalnya, kehilangan 100 halaman iklannya.

Para pengiklan di AS waktu itu berpikir, sebaiknya setengah dari biaya iklan dialihkan ke media TV. Salah satu alasannya, produk-produk yang di iklankan dalam majalah wanita sebenarnya dapat diiklankan secara langsung di banyak toserba dan media TV. Bahkan menurut mereka keuntungannya akan lebih besar karena mampu menembus khalayak yang lebih luas. Namun bersamaan dengan itu Kathlenn membuat sebuah catatan, bahwa pengiklan disana tetap memilih majalah-majalah spesifik sebagai media iklannya.

Dalam strategi beriklan, memilih media yang sesuai dengan produk yang akan diiklankan memang memerlukan banyak sekali pertimbangan. Ambil contoh iklan pembalut wanita yang dengan peragaan tersendiri tampil di layar TV. Perlu diingat, tidak semua pemirsa bersikap permisif terhadap peragaan tersebut (karena pemirsa TV bukan hanya wanita). Untuk pembalut wanita, idealnya memang diiklankan secara tercetak. Disini bisa dengan leluasa diinformasikan kecanggihannya, tak bocor misalnya. Terlepas apakah dibaca kaum pria, toh mereka tidak berkepentingan dalam hal ini.

Di antara tuntutan kehidupan sosial yang semakin modern, terkadang kebutuhan manusia menjadi tidak rasional lagi. Disadari atau tidak, mereka yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat modern akan segera beranjak menjadi konsumen kompulsif. Apalagi budaya masyarakat kota yang telah terjangkiti ‘budaya gengsi’.

Di sisi lain, potret kondisi seperti ini akan dipandang oleh para pengiklan sebagai sesuatu yang potensial dan mereka akan terus mengembangkan konsep strategi menjerat konsumen.

Wanita memang ‘getol’ berbelanja. Selama masih wajar tingkatannya mungkin tak mengapa. Mungkin Jepang adalah contoh yang menarik, dimana kebanyakan ibu-ibu rumah tangga di sana membeli lukisan hanya karena tetangganya sudah duluan membeli. Padahal mereka sebenarnya buta untuk menilai seni dari sebuah lukisan yang mereka beli. Latah, itu memang lakon kebanyakan ibu-ibu.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 28 Februari 1993.

Tidak ada komentar: