Rabu, 15 Oktober 2008

PANDANGAN BERBEDA TERHADAP IKLAN BERBAU SEKS

Oleh Deddy H. Pakpahan

Expressions Slimfit Studio, sebuah pusat kelangsingan tubuh di Singapura, pada bulan April 1992 memasang iklannya di harian The Straits Times. Seorang wanita yang bertindak sebagai model iklan, tampil bugil bulat dalam posisi membelakangi pembaca (kebetulan ini adalah iklan tercetak).

Iklan garapan biro iklan Bozell (Singapura) itu ternyata mengundang kritik bernada kecaman. Iklan Slimming Center tersebut dianggap memperlihatkan sosok wanita yang --maaf kat-- sedang melakukan masturbasi. Tepat atau meleset interprestasi terhadap iklan yang dilancarkan oleh para pelontar kritik disana, nyatanya para pekerja di biro Bozell langsung mengadakan Retouch atau memoles iklan tersebut, yakni dengan sedikit menggeser tangan sang model.

Seiring dengan itu, Theresa chew --Direktur Expressions Slimfit Studio-- berusaha meng-Counter kritikan yang datang. Ia menyangkal. Katanya, iklan seperti itu dimaksudkan untuk memperlihatkan suatu citrarasa yang indah dari tubuh seorang wanita, seperti juga yang diinginkan klien-kliennya. “Kami sengaja memilih model bugil, karena ketelanjangannya menyimbolkan kebebasan total dari tubuh terhadap toksin, penyakit, dan kegemukan yang dapat kami berikan kepada pelanggan kami”, tangkis Chew seperti dikutip majalah Cakram, edisi Mei 1992.

Seks, Iklan, dan Masyarakat

Dari peristiwa tersebut di atas, terlihat ada dua kutub pendapat yang kontradiksi. Masing-masing mempunyai alasan, dimana pendapat yang pertama ingin menggaris tebal bahwa iklan berbau seks tidak pantas disodorkan kepada masyarakat. Seks telah dieksploitasi dan dimanipulasisedemikian rupa untuk kepentingan komersial tanpa mau sedikit memperhatikan aspek moralnya. Iklan yang demikian bahwa bisa dipandang sebagai bentuk lain dari “penghantaman” terhadap norma susila dan cenderung mengarah pada tindak pelecehan seksual (Sexual Harassment). Memang tidak etis.

Para pembaca The Straits Times --yang kebetulan melihat iklan tersebut—termasuk mereka yang menginginkan tubuhnya menjadi langsing pun mungkin dibalut tanpa Tanya, mengapa sang model harus berpose begitu? Sedangkan pendapat kedua yang lebih seru --seperti dikatakan Chew-- adalah anggapan bahwa pose itulah yang dapat menumbuhkan daya tarik kepada khalayak.

Dalam artian positif, seks memang selalu asik dan “aktual” untuk diperbincangkan. Tak heran, karena seks adalah kebutuhan dasar biologis yang dimiliki setiap individu.

Ketika mangamati dunia periklanan, keterlibatan unsur seks dalam melengkapi perwujudan ide-ide kreatif iklan, acapkali tidak dapat dihindarkan. Seks agaknya telah menjadi unsur potensial untuk diramu kedalam sebuah iklan. Kiat meramu unsure seks ini diharapkan mampu merangsang perhatian konsumen dan selanjutnya mengkonsumsi barang yang ditawarkan, atau jasa sekalipun.

Di Indonesia pun kita bersua dengan iklan-iklan yang menonjolkan daya tarik seks, meski belum terlalu Vulgar. Dulu, sewaktu TVRI masih menayangkan siaran iklan (Mana Suka Siaran Niaga), iklan deodorant merek Odorono pernah mendapat peringatan --karena memperagakan cara menggunakan deodorant diketiak-- Apa tidak boleh memperagakan cara pemakainnya? Sama sekali tidak ada larangan untuk itu. Iklan tersebut diperingatkan karena sebagian payudara sang model terlihat. Tak ayal lagi iklan itu dikategorikan porno.

Pernah suatu kali Nia Zulkarnaen diprotes oleh public pemirsa TV (swasta) karena iklan Lux yang dibintanginya dinilai tidak sopan, yakni dengan mempertontonkan lekak-lekuk tubuh sang model yang lher…sher.. dengan “dunia berputarnya”. Padahal menurut pengakuan sang model itu sendiri, sama sekali ia bermaksud menonjolkan sesuatu, seperti apa yang di tuduhkan para pemirsa TV.

Iklan TV Digitec Ninja juga tidak mau ketinggalan. Di layar TV bisa kita saksikan bagaimana seorang wanita dengan pakaian super ketat (bukan super Ninja) tengah berbincang dengan seseorang. Kurang lebih si wanita itu berkata, “…kamu macho…” dan berakhir dengan sederetan kata bernada kepuasan. “Hanya kamu yang sanggup memuaskan …” Ternyata yang diajak ngomong hanyalah seperangkat pesawat TV, benda mati. Mengapa si wanita menyebut TV dengan kata-kata “macho” alias jantan dan sanggup memuaskan diri wanita tersebut. Atau memang TV merek Digitec Ninja sudah bisa menggantikan posisi kaum lelaki, mungkin bukan itu maksudnya. Tetapi mengapa iklan tersebut tampil begitu?.

Kehadiran iklan di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, memang akan memperoleh justifikasi atau penilaian yang beragam dari masyarakat. Ada yang mengklasifikasikan sebuah iklan sebagai iklan yang tak etis. Namun disisi lain, sekelompok orang memandang iklan tersebut wajar-wajar saja. Seperti tercipta dua kutub. Secara jujur memang sulit bagi kita untuk memilah-milah, mana yang etis dan mana yang tak etis, dengan melihat dua kutub tadi. Sebab, latar belakang penilaian akan selalu bersandar dari sosok kepentingan yang ada dalam diri masing-masing penilai.

Dalam buku Social Learning (1977), A. Bandura pernah mengidentifikasikan apa-apa saja yang menarik perhatian setiap individu. Katanya, peristiwa yang selalu menarik perhatian adalah sesuatu yang menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, dan menimbulkan perasaan positif bagi pengamatnya. Pakar dibidang jurnalistik , Emile Dofivat, juga pernah mengatakan bahwa “perulangan” merupakan salah satu prinsip penting dalam menaklukan massa.

Relevansi apa kira-kira yang bisa kita ambil, jika kasusnya adalah bidang periklanan, sambil mengacu pada pendekatan sosial Bandura, maka terlebih dahulu kita harus sepakat, bahwa yang dimaksud dengan “peristiwa” tidak kita artikan secara sempit. Tatkala individu bertemu dengan iklan, itu juga merupakan suatu peristiwa. Dengan kata lain, individu tersebut telah terlibat dalam proses komunikasi promosi.

Beranjak dari pemahaman tersebut dapat kita simpulkan, iklan yang menarik perhatian masyarakat adalah iklan yang tampil menonjol tetapi sederhana (Simplicity), mengindahkan teknik pengulangan (Redudancy) dan menimbulkan perasaan positif masyarakat. Tentu tidak hanya itu. Kejelasan (Clarity) serta unsure-unsur lainnya juga mutlak dihadirkan.

Apa yang ditonjolkan harus bisa memancarkan daya tarik. Nah, jika yang ditonjolkan adalah unsur seks, apa yang menarik dari seks?.

Seringkali erotisme atau kalimat-kalimat verbal dijadikan daya tarik seks didalam iklan. Kalau saja itu bisa menimbulkan perasaan positif pada masyarakat, maka bukan mustahil iklan tersebut akan mampu menstimuli pola konsumsi masyarakat kearah yang telah diperhitungkan semula. Tetapi sebaliknya, bila iklan tersebut memunculkan perasaan negatif di tengah masyarakat --lantas menimbulkan kritik atau protes-- janganlah terlalu berharap banyak, bahwa pesan iklan akan dipanuti konsumen.

Kembali ke pertanyaan sentral, bisakah iklan berbau seks menstimulasikan pola konsumsi masyarakat? Semua terpulang pada bagaimana masyarakat, dengan kacamatanya, memberikan penilaian terhadap iklan satu dengan lainnya. Mana yang bisa membangun perasaan positif dan mana yang punya pengaruh negatif.

Begitu pula halnya dengan perasaan kita terhadap iklan yang berbau seks. Di satu pihak ada sekelompok orang yang berucap bahwa iklan berbau seks merupakan cermin daya kreatif tersendiri sang penciptanya, dan sah-sah saja jika eksis. Di pihak lain ada sekelompok lagi yang secara terang-terangan berujar, bahwa eksistensi iklan berbau seks merupakan cermin tersumbatnya proses kreatif pencipta ide iklan. Dengan perkataan lain, telah terjadi pendangkalan nilai-nilai kreaitf, dimana seks menjadi semacam figuratif yang di anggap atraktif dalam sebuah iklan.


Dimuat pada harian Bisnis Indonesia, 27 September 1992

1 komentar:

Anonim mengatakan...

How to login to your casino site - ChoEgoCasino
The casino site can be accessed from the homepage, as 카지노사이트 is 메리트 카지노 주소 the casino. The 메리트카지노 casino offers both a deposit bonus and a reload bonus.